Aktivitas berbahasa merupakan cerminan cara kita berpikir. Logis tidak logisnya cara berpikir kita akan sangat tampak ketika kita menyampaikan suatu pesan kepada orang lain.
Kalau kita pernah menemukan dua orang berdebat dalam satu topik tertentu, jangan buru-buru menganggap mereka memang tidak mengerti akan konsep dari topik yang sedang dibicarakan. Bisa saja cara menyampaikan pesan dari salah seorang atau bahkan keduanya kurang tepat.
Cara penyampaian yang kurang tepat bersumber dari kurang pahamnya atau malah sepelenya kita dalam memaknai sebuah kata.
Antara kurang paham dan sepele adalah dua hal yang saling berkaitan. Bisa saja awalnya sepele kemudian tidak paham, ada pula karena kurang paham hingga menjadi sepele. Namun, kita tidak akan membahas apa yang mendahului apa. Intinya karena kedua hal itu maka pesan yang ingin kita sampaikan menjadi salah.
Kesalahan-kesalahan yang kita lakukan sudah sebegitu masifnya, juga sudah terlalu lama atau bisa juga sudah terlalu terbiasa dengannya hingga kurang peka dengan kesalahan itu. Sampailah kita pada pembiaran-pembiaran karena memang sudah sulit rasanya mengubah kebiasaan yang salah itu.
Pernahkah bertanya kepada teman di kelas atau guru menanyakan kepada sekretaris kelas ‘Ada yang absen hari ini?’, ‘Mana absen kita?’, ‘Ada yang sudah mengisi absen hari ini?’. Pertanyaan pertama masih benar, namun pertanyaan kedua dan ketiga jelas salah. Pada pertanyaan kedua dan ketiga yang bertanya memiliki konsep akan absen adalah sebuah buku yang berisi nama-nama peserta didik dan mempunyai keterangan alpa, izin dan sakit, semuanya mewakili absen yang berarti tidak hadir, namun penyebabnya yang berbeda-beda. Maka jika disubstitusikan ke dalam pertanyaan kedua tadi akan menjadi ‘Mana tidak hadir kita?’.
Di Jakarta, yang merupakan Ibu Kota negara Indonesia juga kurang bisa diharapkan dalam mengawasi kesalahan berbahasa kita. Jika pernah ke Jakarta mungkin pernah melihat tulisan ‘busway’ yang artinya adalah jalur bus. Namun anehnya, bukan karena sepeda motor sering lewat dari busway itu, tapi lebih karena metromini dan kopaja dilarang lewat dari busway itu. Pertanyaan kemudian muncul, apakah metro mini dan kopaja tidak termasuk kategori bus? Sering juga terdengar, ‘Kita naik busway aja ya, biar nggak kena macet!’
Jika ingin pelisiran ke suatu tempat dan kita berusaha membeli tiket sekaligus tiket pergi dan tiket pulang, namun sering kita dengar orang berkata ‘Kalau Bapak membeli tiket pulang pergi akan lebih murah, pak.’ Kenapa pulang disebut terlebih dahulu kemudian pergi? Padahal kita pergi terlebih dahulu kemudian pulang. Kita tidak akan bisa pulang kalau kita tidak pernah pergi.
Lagi, kalau pernah baca judul berita di media cetak atau media online, contohnya: ‘Pencuri berhasil ditangkap polisi.’ Benar bahwa konsep di kepala kita mengatakan polisilah yang secara aktif menangkap pencuri, namun jika judul beritanya seperti di muka, sah-sah saja kalau orang beranggapan bahwa pencurilah yang berusaha agar ditangkap oleh polisi.
Empat contoh kesalahan di muka merupakan sebagian contoh yang biasa kita lakoni sehari-hari. Kalau dicari, masih banyak lagi kesalahan-kesalahan yang mungkin lebih parah dari contoh-contoh itu.
Kaitannya dengan pendidikan, kalau kesalahan-kesalahan berbahasa ini tetap berlangsung, jangan heran kalau mutu pendidikan juga akan terus menurun. Karena bahasa merupakan alat yang digunakan untuk menyampaikan semua ilmu pengetahuan. Bisa dibayangkan kalau guru-guru tidak bisa berbahasa dengan baik dan benar, maka pesan yang disampaikan akan sulit diterima oleh peserta didik. Semakin baik bahasa seorang guru maka semakin gampang bagi peserta didiknya mengerti ilmu pengetahuan yang berusaha disampaikannya.
Kaitannya dengan berpikir logis di awal adalah, generasi yang aktivitas berbahasanya kurang baik atau sering melakukan kesalahan-kesalahan, akan menurunkan kesalahan-kesalahan itu kepada generasi selanjutnya, begitu selanjutnya jika tidak ada usaha-usaha yang dibuat untuk memperbaiki kesalahan itu. Akhirnya semakin sedikit yang akan menggunakan logikanya dalam melakukan segala aktivitasnya.
Agaknya demikianlah yang sedang kita alami hari belakangan ini, kita lebih sering menggunakan perasaan kita daripada logika dalam menghadapi suatu persoalan, hingga semakin sering terjadi perdebatan yang kurang berarti. Kiranya boleh disimpulkan bahwa dengan memperbaiki aktivitas berbahasa boleh meminimalisir perdebatan yang tidak jarang berujung pada pertikaian. Di sisi lain, semoga pendidikan berjalan lebih baik lagi.
Jakarta, 7 Maret 2016
Tomson Sabungan Silalahi
Kandidat Master Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Jakarta
(Note: Tulisan ini sudah pernah terbit di Metro24Jam.com)
KOMENTAR