Ide
dalam tulisan ini muncul demi melihat banyaknya huru-hara yang terjadi
belakangan ini. Sampai muncul pertanyaan, adakah peran pendidikan kita yang
menjadikan ini semua atau malah absennya peran
pendidikan (sebagai usaha preventif) untuk menghindari huru-hara ini?
Huru-hara
yang baru-baru ini terjadi (bukan sekali ini saja) di level DPD yang tentunya
mencoreng nama baik Indonesia, kiranya boleh menjadi contoh ektrim yang
seharusnya tidak terjadi. Pernahkah para dewan itu belajar dalam ‘pembelajaran
kooperatif’?
Kelakuan
para dewan yang terkesan lebih mementingkan diri sendiri dan kelompok daripada
kepentingan bersama mengasumsikan bahwa memang para dewan ini tidak pernah
belajar dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif, atau bisa sudah
pernah merasakan tapi tidak terinternalisasi dengan baik.
Pembelajaran
kooperatif dan Bonum commune
Pembelajaran
kooperatif yang lebih mengutamakan bonum
commune di atas kepentingan pribadi tentu menjadikan pribadi-pribadi yang
sosialis bukan individualis. Senada dengan tujuan SDGs yang diserukan PBB, pembelajaran
kooperatif juga mengutamakan lebih pada kerja sama daripada kompetisi.
Kelemahan teman satu kelas merupakan kelemahan bersama sehingga semua anggota
kelas saling membantu dan memberi motivasi.
Hasrat
ingin lebih dari semua rekan-rekan dalam suatu komunitas tidak dianjurkan pada
metode ini. Pun tidak pula dianjurkan menghakimi sesamanya tanpa memberikan
solusi bagi yang dihakimi. Intinya, semua anggota komunitas harus maju bersama
tanpa meninggalkan seorangpun di belakang.
Pembelajaran
kooperatif pertama sekali berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1960-an berawal
dari ide seorang filsuf Amerika sekaligus pemikir di bidang pendidikan, John
Dewey. Walaupun sudah ratusan tahun yang lalu, namun kiranya sangat relevan
diterapkan saat ini.
Kebenaran diri dan
kelompok
Relevan,
karena belakangan muncul kepermukaan kelompok-kelompok yang merasa bahwa
kebenaran yang diyakini kelompoknya adalah kebenaran yang mutlak dan tidak ada
kebenaran di luar apa yang diyakininya, telah meresahkan banyak orang. Tuduhan
dan perlakuan semena-mena kepada orang yang berbeda mencerminkan kemunduruan
adab kita sebagai bangsa yang pernah terkenal dengan prinsip gotong-royong,
tepa salira, toleransi dan banyak nilai-nilai positif lainnya. Nilai-nilai
inilah yang sudah luntur dengan munculnya anggapan bahwa kebenaran hanyalah milik
pribadi dan atau kelompoknya saja.
Saling
serang ideologi karena preferensi pada satu pihak terjadi di semua sosial
media. Berbeda pendapat tidaklah pernah salah, kalau semua pihak mau mengakui
bahwa bisa saja argumen miliknya tidak lebih baik jika dibandingkan dengan
argumen lawannya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, kedua kubu saling
mempertahankan argumen masing-masing.
Maka
betapa tidak etisnya jika setingkat anggota dewan melakukan hal yang sama,
ditonton konstituennya sendiri. Tidaklah heran memang jika kelakuan masyarakat
kita tidak jauh berbeda dengan apa yang diperlihatkan para anggota dewan itu.
Pendidikan untuk rumah
kita bersama
Sudah
saatnya dunia pendidikan kita diingatkan lagi bahwa tujuan pendidikan kita yang
sesungguhnya adalah untuk kesejahteraan bersama. Juga karena
seberguna-bergunanya manusia adalah yang berguna bagi sesamanya. Senada dengan
tujuan pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan kerja sama bukan kompetisi.
Di
sisi yang sama, Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato si’ menggambarkan saudari kita, rumah kita bersama sekarang
sedang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya. Ia
mengeluh dalam rasa sakit bersalin. Kita berlomba-lomba mengumpul pundi-pundi
tanpa memandang yang di sekeliling. Sebelumnya, dalam Evangelii Gaudium, juga diserukan agar mendorong pembaruan
missioner yang berkelanjutan, berdialog dengan semua orang tentang rumah kita
bersama. Sangat tidak dianjurkan untuk memutus dialog dengan seseorang atau
sekelompok orang.
Pun
Paus Emiritus Benediktus XVI juga berpendapat sama bahwa semua kerusakan
lingkungan dan sosial disebabkan oleh kejahatan yang sama: gagasan bahwa tidak
ada kebenaran yang tak terbantahkan untuk menuntun hidup kita, kejahatan
dimulai ketika kita tidak lagi mengakui yang lebih tinggi dari pada diri kita
sendiri, ketika kita tidak melihat apa pun kecuali diri kita sendiri.
Dari
semua gambaran di atas, pada akhirnya penulis harus mengakui bahwa terkadang
penulis juga merasa menjadi orang yang paling benar sampai disadari kalau penulis
juga sering salah. Mungkin karena pola pendidikan yang mengutamakan kompetisi
yang selama ini sudah saya kecap dan akhirnya membentuk pola berpikir serupa.
Akhirnya
demi mereduksi itu semua, sudah saatnya metode pembelajaran kooperatif
diterapkan di semua lini pendidikan kita. Agar tidak tercipta lagi generasi
yang merasa benar sendiri, yang dengan gampang menilai negatif orang lain, yang
tidak mau membantu dan serakah, melainkan menciptakan generasi yang secara
penuh menyadari kelemahan saudara dan saudarinya adalah kelemahannya juga.
Catatan: Tulisan ini sudah pernah dimuat di suaraumat.net pada tanggal 5 Mei 2017.
Jakarta, 5 Mei 2017
Tomson Sabungan Silalahi
Awardee Beasiswa LPDP
KOMENTAR