Sumber foto: southasia.oneworld.net
“A
hungry Negro steals a chicken, he goes to jail. A rich businessman steals
bonds, he goes to Congress. I think that's wrong. Now, if that makes me a
radical, a socialist, a communist, so be it.” –
Seorang Negro yang
(karena) lapar mencuri seekor ayam, dipenjara. Seorang pengusaha kaya mencuri
obligasi (korupsi) dia menjadi DPR. Saya pikir itu salah. Sekarang, jika karna
(pernyataan) itu menjadikanku seorang yang radikal, seorang sosialis, seorang
komunis, biarlah.
Pernyataan di atas adalah potongan dialog
antara profesor dan ayah dari salah satu mahasiswanya yang adalah anggota
sebuah grup debat. Dialog itu ada pada sebuah film berjudul “The Great Debaters” yang dibuat
berdasarkan kisah nyata dan tayang di bioskop pada hari Natal, 25 Desember 2007
untuk pertama kalinya. Berlatar tahun 1930-an di Amerika Selatan, ketika banyak
ketidakadilan terjadi terkhusus pada warga Negro.
Demi menyaksikan kejadian yang
akhir-akhir ini ketika ada kelompok masyarakat Indonesia yang takut (kalau sangat
takut kurang pas) akan kebangkitan Partai Komunis Indonesia, bolehlah kita
kembali menonton film yang telah memenangkan 5 penghargaan dan masuk nominasi
pada Golden Globe Awards itu.
Ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil
dari film itu. Kita kembali ke pernyataan sang profesor di atas, apa kiranya
yang menarik adalah, dia tidak pernah menyatakan diri sebagai radikal, sosialis
bahkan komunis. Tapi keinginannya untuk berbuat baik terhadap kaum tertindas
yang, pada saat itu adalah para petani, dianggap sebagai komunis yang akan
menentang kebijakan pemerintah saat itu.
Di Indonesia kiranya lebih aneh lagi
ketika ada kelompok yang ketakuatan akan kebangkitan Partai Komunis Indonesia
(PKI), entah apa dasarnya hingga wacana ini dimunculkan dan berusaha
memengaruhi opini publik. Seperti pernyataan sang profesor di atas, biarlah dia
dianggap apa saja (termasuk komunis) jika memang ia berbuat yang benar atas
dinamika yang buruk yang sedang terjadi di sekelilingnya, ketidakadilan di
negaranya sendiri. Penulis sepakat bahwa memang negara kita masih jauh dari
kata baik dalam memperjuangkan keadilan terhadap masyarakatnya, tapi alangkah
tidak elok jika itu dibuat menjadi alasan untuk menyalahkan sebuah paham,
bahkan menyatakan kebangkitan PKI itu sendiri. Seperti cari lawan saja.
Lagi, ini kata mereka dalam film
mengenai lawan itu;
A: Who is the judge?/ Siapa penentu
keadilan?
B:
The judge is God./ Penentu keadilan adalah Tuhan.
A:
Why is he God?/ Mengapa Tuhan?
B:
Because he decides who wins or loses. Not my opponent. / Karena Dia
yang menentukan siapa
pemenang
atau yang kalah. Bukan lawanku.
A: Who is your opponent?/ Siapa lawanmu?
B:
He does not exist. / Dia tidak ada.
A: Why does he not exist?/ Mengapa dia
tidak ada?
B:
Because he is a mere dissenting voice of the truth I speak!/ Karena
dia adalah suara
ketidaksepakatan
belaka dari kebenaran yang saya ucapkan!
A: Maka
bicaralah tentang kebenaran.
Maka, lawan yang sesungghuhnya
adalah diri kita sendiri, kepentingan kita sendiri atas sesuatu yang tidak
benar yang kita ucapkan kepada orang lain. Ketika kita mengucapkan yang tidak
benar, maka di sanalah lawan itu tercipta.
Tidak adil bagi profesor ketika dia
dituduh seorang komunis, yang membuat gerakannya terbatasi. Maka lewat tim
debatnya, dia mau membuka pikiran masyarakat bahwa tidak ada yang salah dari
sebuah paham yang mencita-citakan keadilan bagi semua karena semua orang sama,
tidak peduli dia dari mana, suku, agama, bahasa, warna kulitnya apa, rambutnya
keriting atau lurus, mata sipit atau lebar, semua harus sama di mata hukum.
Tidak ada yang bisa (sengaja) disingkirkan karna perbedaan itu.
Terakhir, mengutip lagi kata-kata Saint Augustine of Hippo yang digunakan
oleh James Farmer Jr untuk memenangkan
debat mereka “An unjust law is no law at all” - Sebuah hukum yang tidak adil adalah
benar-benar kealpaan hukum. Kemudian diterangkannya lagi “Which means I have a right, even a duty to resist. With violence or
civil disobedience. You should pray I choose the latter.” – Artinya, Saya
punya hak, bahkan sebuah kewajiban untuk melawan. Dengan kekerasan atau
ketidakpatuhan sipil. Maksud penulis, inilah yang harus kita perdebatkan, kita
kaji lagi, peran negara dalam meyakinkan masyarakatnya untuk patuh terhadap
semua peraturan yang dibuat demi keadilan. Bukan memperdebatkan sesuatu karena
bayang-bayang ketakutan. Ah, seperti cari-cari lawan saja. Mengapa James Farmer Jr
mengakhiri dengan kalimat “You should
pray I choose the latter” – Kalian seharusnya berdoa (agar) saya memilih yang terakhir?
Kalian sudah tahu jawabannya.
TSS
NB: Dengan sedikit perubahan namun tanpa mengurangi substansi yang ingin disampaikan, tulisan ini sudah pernah terbit di indonesiana.tempo.co dan kompasiana.com.
KOMENTAR