Oleh: Tomson Sabungan Silalahi
Telah lama karena berbagai kesibukan yang ada tidak ada tulisan yang saya
produksi. Demi menikmati kesendirian ini, saya coba menuliskan sisi-sisi lain perjalanan
waktu yang telah saya lalui. Mungkin tulisan ini tidak sesuatu yang kalian
harapkan, tapi saya yakin kejujuran dan niat baik untuk tetap berbagi akan
selalu berfaedah. Lagi, tulisan demi tulisan yang saya hasilkan akan menjadi
refleksi tersendiri bagi saya dalam menjalani hidup yang lebih jujur, proses
menulis menjadi cara untuk mengingat kembali kenangan-kenangan untuk dijadikan memoar
sebagai bahan untuk direfleksikan, semua demi menjawab, sejauh apa hidup ini
saya hidupi?
Baiklah, kita mulai saja ya!
Percaya diri itu perlu. Dulu, ketika saya mulai tahu merasa, rasa-rasanya
saya adalah orang paling minder atau orang yang tidak memiliki percaya diri
sama sekali. Benar, kala itu waktu saya masih SD, saya ingat, ada seorang Bapak
yang kata emakku adalah Bapa Uda[1]-ku
memberikan selembar duit, yang menurut saya nilai intrinsiknya sangat gede, warna biru coy. Sumpah, saya tidak pernah memegang uang yang seperti itu
sebelumnya. Alhasil, otakku, memerintahkanku untuk tidak menerimanya, geblek. Perasaan saya sih pengin. Disodorkan berkali-kali pun,
tetap saja saya tidak mau terima. Saya merasa tidak pantas sodara-sodara.
Akhirnya, emak saya ambil alih, berperan sebagai perpanjangan tangan saya
yang malu-malu kucing ini. Setelah duit di tangan, emak menyodorkan lembaran
biru itu ke saya. Belum sempat terkumpul keberanian diri saya untuk menyambut,
emak langsung menarik tangannya, memasukkannya ke dalam saku celana pendeknya. “Ok,
saya simpan dulu ya, nanti hilang!”
Kejadian serupa, selalu terjadi. Sampai saya tamat SMK pun masih sama. Kebetulan
ladang garapan kakek (tapi saya tidak mendapati kakek lagi di dunia ini, semoga
kakek tenang di sisi-Nya) jauh dari rumah, sekitar 2-3 kilometer. Keluarga kami
tidak memiliki sepeda motor[2],
sering para tetangga yang kebetulan hendak ke ladang jika berpapasan di jalan
menawarkan tumpangan, tapi sering saya menolak tawaran itu, bukan karena ingin
berolah raga, tapi emang pada
dasarnya saya, lagi-lagi minderan. Sampai saat ini, saya kurang tahu istilah
yang paling tepat untuk keanehan yang kumiliki ini. Kalau ketepatan ada
psikolog yang sedang membaca ini, plis
beritahu saya istilah tepat untuk menggambarkan keminderanku itu.
Hidup di perantawan, akhirnya perasaan minder dan tidak pantas itu sedikit
demi sedikit saya kikis. Bila perasaan itu tetap saya pelihara, hidup ini tidak
akan pernah berubah. Istilah introvert[3]
untuk diriku yang lebih nyaman dengan kesendirian sedikit tapi pasti saya
imbangi dengan kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak orang.
Sebenarnya bibit untuk lebih melibatkan diri di luar diri sendiri sudah
ada, saya, ketika masih duduk di bangku kelas 2 SMK sudah menjadi ketua Mudika[4]
di Stasi St. Yoseph, kampung halamanku. Tapi entah kenapa, perasaan tidak
pantas selalu menghampiri setiap kali ingin melangkah ke tingkat yang lebih
tinggi lagi.
Usaha untuk selalu terlibat di luar diri sendiri membuahkan hasil. Saya
sampai pada fase dimana saya merasa gelisah jika tidak bersama dengan
teman-teman saya. Jalan sendiri tidak lagi menjadi pilihan. Saya bingung,
apakah pencapaian ini harus saya rayakan atau tidak. Di satu sisi usaha saya
untuk tidak terlalu menikmati hidup dengan diri sendiri berhasil namun di sisi
lain saya merasa menjadi kurang percaya diri, lagi, jika tidak seorangpun yang
mendampingi, setidaknya menemani untuk melakukan sesuatu, bahkan untuk berjalan
ke kampus.
Waktu berjalan, saya mulai sadar. Menurut saya ada yang salah dengan apa
yang baru saya capai ini. Saya yakin se yakin-yakinnya bahwa jika hal ini terus
berlanjut, hidup saya tidak akan pernah mandiri. Kemudian saya berusaha untuk
menikmati kesendirian lagi. Hal-hal yang dulu saya geluti untuk menikmati
kesendirian pelan-pelan saya jalankan lagi, membaca misalnya. Pelan-pelan
kesendirian ini akhirnya bisa saya nikmati lagi.
Baca juga: MEMBACA
Akhirnya, saya mampu menikmati ketika saya sendiri pun ketika bersama
dengan orang lain. Di kala sepi dan atau ramai. Saya lebih mampu menikmati
hidup. Namun, konsekuensinya adalah saya menjadi kurang fokus dengan apa yang
ingin saya capai. Pun demikian sekarang saya percaya, dengan usaha yang
maksimal, waktu akan mengajari saya untuk menjadi diri yang lebih baik lagi,
dari hari ke hari. PR saya sekarang adalah “fokus”.
Berubah, beradaptasi, memantaskan diri, mau dibentur, terbentur, memberikan
diri, meluangkan waktu, pengorbanan, menerima diri sendiri, pemberian diri, menyadari,
kejujuran menilai diri, keikhlasan, kekecewaan, jatuh dan bangkit lagi, tidak
putus asa, tidak menyerah. Semua itu akan menghantar kita pada diri kita yang
paling baik.
Pengalaman hidup tiap orang mungkin berbeda, tetapi fase-fase kehidupan itu
setidaknya memiliki kesamaan. Bukan perbedaan itu yang menjamin kita akan
menjadi orang yang lebih baik dari yang lain namun sikap kita menghadapi fase
itulah yang akhirnya menentukan.
Titik demi titik kehidupan yang kita dapatkan akhirnya akan menghantar kita
ke pada sisi yang lain diri kita. Jangan takut berubah, supaya berbuah!
KOMENTAR