Oleh : Gerrardus Umbu Pati
Wakil Sekretaris Jendral PMKRI Cabang Mataram
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini
sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan
masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan.
Mahalnya biaya pendidikan dari Taman
Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak
memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh
sekolah. Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya yang sangat mahal berkisar dari 300.000 sampai
500.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa
mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Makin
mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak
lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis
Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk
melakukan mobilisasi dana.
Kondisi ini lebih buruk lagi dengan adanya UU nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit,
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Maka saya menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan semua tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, sekolah memiliki otonomi khusus untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatas dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab dan ingin cuci tangan dengan adanya UU nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP).
Kondisi ini lebih buruk lagi dengan adanya UU nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit,
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Maka saya menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan semua tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, sekolah memiliki otonomi khusus untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatas dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab dan ingin cuci tangan dengan adanya UU nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP).
KOMENTAR