Oleh : Hendri Santoso
Pendidikan adalah suatu usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik agar berperan aktif dan positif dalam hidupnya
sekarang dan yang akan datang, dan pendidikan nasional Indonesia
adalah pendidikan yang berakar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional
indonesia. Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokkan sesuai dengan
sifat dan kekhusussan tujuannya dan program yang termasuk jalur pendidikan
sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan keturunan, dan
pendidikan lainnya, serta upaya pembaharuannya
meliputi landasan yuridis, kurikulum dan perangkat penunjangnya, struktur
pendidikan dan tenaga kependidikan.
Berangkat dari definisi di atas maka
dapat dipahami
bahwa secara formal sistem pendidikanIndonesia diarahkan pada tercapainya
cita-cita pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban
bangsa Indonesia yang bermartabat. Namun demikian,
sesungguhnya sistem pendidikanIndonesia saat ini tengah berjalan
di atas rel kehidupan sekularisme, yaitu suatu
pandangan hidup yang memisahkan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan
kehidupan secara menyeluruh, temasuk dalam penyelenggaraan sistem pendidikan.
Meskipun pemerintah dalam hal ini berupaya mengaburkan
realitas (sekulerisme pendidikan) yang ada sebagaimana terungkap
dalam UU No. 20/2003 tentang sisdiknas pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan,
”pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan yang Maha Esa,
berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi
warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan
masyarakat dan tanah air.”
Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional
berjalan dengan penuh dinamika. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh dua hal
utama yaitu political will dan dinamika
sosial. Political will sebagai suatu produk dari
eksekutif dan legislatif merupakan berbagai regulasi yang terkait dengan
penyelenggaraan pendidikan diantaranya tertuang dalam pasal 20, pasal 21, pasal
28 c ayat 1, pasal 31, pasal 32 UUD 1945, maupun dalam
regulasi lainnya seperti UU No.2/1989 tentang sisdiknas yang diamandemenkan
menjadi UU No.20/2003, UU No.14/2005 tentang guru
dan dosen,
PP No No 19/2005 tentang standar nasional pendidikan, serta berbagai rancangan
UU dan PP yang kini tengah dipersiapkan oleh pemerintah.
Yang terbaik untuk pendidikan anak
bangsa Indonesia ke depan adalah membangun budaya
jujur kepada peserta didik. Pendidikan kita selama ini lebih
mementingkan konten kurikulum dan sibuk dengan
euforia prestasi di kancah dunia. Sistem pendidikan yang komprehensif harus memiliki pemahaman yang sama mengenai pembentukan
lulusan yang memiliki kepribadian yang jujur. Kejujuran akan tercipta manakala
terciptanya kenyamanan dalam proses pendidikan di sekolah.
Apa yang dilakukan pemerintah terkait
dengan kurikulum 2013, hemat penulis adalah
suatu bentukpemborosan
kebijakan. Penulis tidak mengatakan
kurikulum 2013 itu jelek, tetapi tindak lanjut dari
pemberlakuan kurikulum oleh pemerintah sangat kontra produktif. Contohnya persoalan buku ajar, pemerintah kurang mempercayai kemampuan
guru dalam melakukan eksplorasi sumber belajar, sehingga malah sibuk
menerbitkan buku materi, modul materi yang sebenarnya itu adalah area
kompetensi guru dan pemerintah tidak perlu terlalu mengintervensi guru untuk
menggunakan sistem pembakuan buku. Lebih parah lagi pemerintah kurang sigap
tentang bagaimana buku itu didistribusikan ke sekolah-sekolah di
Indonesia. Kedua, banyak tindak lanjut berupa diklat-diklat sosialisasi yang
ujungnya justru siswa terlantar tidak mendapat cukup pelayanan pengajaran dari
guru karena para guru sibuk mengikuti diklat
dan pelatihan yang notabene pasti banyak biaya yang dikeluarkan. Pelaksanaan diklat tersebut hanya menghabiskan anggaran dan pelaksanaan proyek semata ketimbang implementasinya dikemudian hari. Penulis beranggapan sebaik apapun kurikulumnya, maka garapan yang paling mendasar adalah langkah rill harian guru didalam kelas.
Apabila dikaji lebih mendalam, muncul pertanyaan tentang apa dan
siapa pangkal persoalan pendidikan di Indonesia. Menurut penulis, yang
menjadi pangkal persoalannya adalah materi (baca:
pelajaran) dan
pelaku (baca: guru). Banyaknya
pelajaran yang harus digeluti oleh peserta didik menjadikan proses belajar
mengajar tidak efektif, karena persoalan keterbatasan peserta didik dalam
menyerap dan memahami pelajaran yang disampaikan. Yang kedua adalah persoalan guru yang
bermacam-macam jenis yang dominasinya, adalah tidak menarik dalam memberikan
materi di depan siswa-siswinya. Seharusnya guru dibekali dengan berbagai metode
dan gaya mengajar yang mampu menarik
perhatian peserta didik,bukan
sekadar menguasai materi. Untuk mencapai
tahapan ini, dibutuhkan
kreatifitas dan inovasi dari para guru,
sekalipun penulis beranggapan, dibutuhkan waktu yang lama untuk mampu mencapai
level tersebut. Penulis yakin, pemerintah
berpikir dan menindaklanjuti tentang berbagai kekurangan guru dan menutup
celah-celah kekurangannya agar pendidikan di Indonesia semakin menunjukkan peningkatan kualitas.
*Penulis merupakan aktivis Mahasiswa Katolik pada zamannya*
KOMENTAR