![]() |
Kredit foto: Goethe-Institut Indonesien |
Kamis, 14 Februari 2019 dari pukul 19.00 - 22.30 WIB tepat saat Valentine's Day di Goethe-Institute Jakarta.
Ini adalah pengalaman saya berada di Goethe-Institut –
Jakarta. Padahal, saya tinggal di Jakarta sudah hampir 4 tahun dan letak saya
tinggal dan Goethe-Institut hanyalah dipisahkan 2 gedung saja, miris. Tapi
seperti kata pepatah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Apa yang membawa saya ke Goethe-Institut adalah teman
saya – Fandis Nggarang. Dia adalah lulusan Program Studi Pendidikan Bahasa
Jerman di Surabaya beberapa tahun yang lalu, namun ia pun, sama seperti saya
pertama kali menginjakkan kaki di halaman Rumah Budaya Negara Jerman padahal
kami berkantor di alamat yang sama (di saya tinggal).Begitulah sosial media telah
membawa kami berdua (terakhir ditambah Halasan) untuk memasuki halaman rumah budaya
itu. Lantaran Goethe-Institut menyebarkan undagannya di laman facebook mereka
untuk mengikuti acara #FEMPOP NIGHT.
#FEMPOP NIGHT: Budaya Menghubungkan
Perempuan. Adalah acara yang berusaha mengkombinasikan karya, berdiskusi dan
mendengarkan musik bagi para praktisi (perempuan) budaya dari Asia Tenggara,
Selandia Baru dan Jerman, intinya untuk bertemu, berkarya dan belajar bersama.
Beberapa
yang hadir di antaranya:
Alyana Cabral,
Filipina / musisi dan seniman visual
Amanda Keisha Ang, Singapura / DJ, promotor dan perancang grafis
Dia Sabrina, Singapura / penulis dan editor
Hera Diani, Indonesia / wartawan dan editor
Indraswari Pangestu, Indonesia / penulis dan ahli strategi konten digital
Kartika Jahja, Indonesia / musisi dan wiraswasta
Mich Dulce, Filipina / perancang busana dan musisi
Natasha Matila-Smith, Selandia Baru / seniman visual dan penulis
Nhung Dinh, Vietnam / kurator dan pembuat film
Wannakarn Opassatien, Thailand / pencipta konten
Yadanar Win, Myanmar / seniman performans dan seniman visual
Amanda Keisha Ang, Singapura / DJ, promotor dan perancang grafis
Dia Sabrina, Singapura / penulis dan editor
Hera Diani, Indonesia / wartawan dan editor
Indraswari Pangestu, Indonesia / penulis dan ahli strategi konten digital
Kartika Jahja, Indonesia / musisi dan wiraswasta
Mich Dulce, Filipina / perancang busana dan musisi
Natasha Matila-Smith, Selandia Baru / seniman visual dan penulis
Nhung Dinh, Vietnam / kurator dan pembuat film
Wannakarn Opassatien, Thailand / pencipta konten
Yadanar Win, Myanmar / seniman performans dan seniman visual
#FEMPOP NIGHT diselenggarakan
oleh Goethe-Institut sebagai kelanjutan perjalanan berjejaring Feminism and Pop Culture ke Berlin
pada bulan Agustus 2018 untuk praktisi budaya dari Asia Tenggara, Australia dan
Selandia Baru, yang bekerja sama dengan Missy
Magazine.
![]() |
Pengunjung sedang melihat karya quilt yang sudah disatukan sementara yang lain masih sibuk membuat karya masing-masing. |
Quilt
dan Partisipasi
Pertama kali memasuki ruangan Goethe-Institut, setelah
registrasi, mata pengunjung langsung disuguhi dengan aktivitas beberapa
perempuan yang sedang menyulamkan ide-ide atau suara mereka ke dalam potongan
kain berukuran 10x10 inci untuk kemudian disatukan menjadi potongan kain yang
besar dan akan tumbuh terus. Siapapun dipersilakan berpartisipasi. Proyek ini
disebut “Quilt”. Digagasi oleh pendiri Grrrl
Gang Manila, Mich Dulce.
![]() |
Kredit foto: Goethe-Institut Indonesien |
Ukuran 10x10 inci merupakan simbol untuk estimasi 10
triliun dollar AS yang hilang setiap tahun sehubungan dengan kerja domestic dan
kerja emosional tanpa upah oleh kaum perempuan di seluruh dunia.
![]() |
Kredit foto: Goethe-Institut Indonesien |
“Kami bermaksud mengadakan pertemuan untuk orang-orang
yang berminat pada seni, budaya dan aktivisme”, Anna Maria StaruB, Kepala
Program Budaya Goethe-Institut Indonesien menjelaskan. “Lewat proyek quilt
partisipatoris, bincang-bincang dan pertunjukan music, #fempop Night mengundang
orang-orang untuk berpartisipasi, bukan hanya datang dan mendengarkan. Mereka
akan berbagi pemikiran, melibatkan diri dalam diskusi, dan bertemu dengan
orang-orang baru.”
Menyimak dan berbincang
Sembari yang lain masih asyik dengan kainnya
masing-masing, diskusi pun dimulai. Bincang-bincang pun dimulai. Beberapa orang
dari latar belakang berbeda untuk menceritakan proyek dan pengalaman
masing-masing. Sepanjang malam, para pembicara membahas bagaimana caranya menjalin
dan memfasilitasi jejaring untuk menguatkan suara-suara yang kurang terwakili
dalam budaya pop, budaya zine dan penerbitan independent, agar dapat menjadi
alat untuk menciptakan wadah yang ampuh untu suara-suara yang berbeda.
![]() |
Sharing pengalaman dalam memperjuangkan suara-suara yang tak terdengar menjadi didengar. |
#fempop
Night membuka ruang untuk berdiskusi dan bertukar ide mengenai bagaimana
memanfaatkan budaya pop untuk menguatkan suara perempuan bukan hanya di
Indonesia tetapi juga di luar. Malam itu ditutup dengan sesi solo akustik oleh
pemain multi-instrumen, composer dan penyanyi Alyana Cabral. (T/S)
KOMENTAR