![]() |
Pamoedya Ananta Toer dan Novel "Bumi Manusia" gambar diambil dari sini. |
Oleh: Tomson Sabungan
Silalahi
Novel “Bumi Manusia” oleh Pramoedya
Ananta Toer kembali diperbincangkan orang lantaran sudah difilmkan oleh sutradara
kenamaan Hanung Bramantyo. Tayang berbarengan dengan film yang sama-sama diadaptasi
dari novel Pram, “Perburuan” pada tanggal 15 Agustus 2019, kedua film itu
mendapat sambutan yang hangat dari para penonton.
Kali ini saya mau memberikan penilaianku
terhadap film “Bumi Manusia”, karena memang film ini yang masih saya tonton, dan
seperti biasanya, agar uang membeli tiket yang lumayan mahal itu tidak habis di
bioskop saya akan menuangkan apa-apa saja yang saya peroleh dari menonton filmnya.
Secara keseluruhan film “Bumi
Manusia” ingin mengingatkan kita bahwa selama kita masih hidup di Bumi (yang
dihuni oleh) Manusia, persoalan hidup tidak akan pernah selesai. Di tengah
permasalahan-permasalahan itu yang paling penting adalah bagaimana kita
menyelesaikan permasalahannya, apapun risikonya harus dipertanggungjawabkan.
Sebelum kita lanjutkan “spoiler” ini, salut untuk semua kru yang ada, sampai
ada ide untuk mengundang semua penonton untuk hadir berdiri untuk sejenak
menyanyikan “Indonesia Raya” sebelum filmnya ditayangkan.
Atas persoalan-persoalan itu perjuangan
manusia akan selalu mendapat tempatnya. Perjuangan untuk menegakkan keadilan
dan menghapus segala penindasan harus dilakukan. Itulah yang dilakukan oleh Nyai
Ontosoroh dan Minke.
Menurut saya, pemeran utama dalam
film ini adalah Nyai Ontosoroh. Pengalaman pahitnya yang tidak bisa memilih karena
dijual kepada Duda Belanda karena ayahnya ingin menduduki sebuah jabatan dan mendapatkan
uang membuat dia menjadi perempuan yang tangguh. Sempat bahagia dengan suami
yang mengajarinya segala sesuatu dan akhirnya melahirkan dua anak Annelies dan
Robert, namun kebahagiaannya tidak bertahan lama. Kedatangan Maurits (anak
suaminya dari istri pertamanya di Belanda) mengacaukan semuanya. Kemesraan yang
selama ini dirasakan seketika berubah 180 derajat.
![]() |
Poster film "Bumi Manusia", gambar dari sini. |
Perjuangan Nyai Ontosoroh untuk
belajar keras demi mengimbangi ilmu yang dimiliki orang-orang Eropa dan mengubah
stigma buruk seorang Nyai (perempuan yang kawin dengan orang Eropa) kemudian beralih
ke perjuangan memberikan kebahagiaan kepada putrinya. Agar putrinya itu tidak lagi
merasakan pahitnya tidak memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri, agar
putrinya boleh menikahi pria pilihannya sendiri, bukan karena dipaksa siapaun,
merdeka seutuhnya.
Sedangkan anaknya Robert sudah
terlalu mengagunggkan status dan darah Eropa yang mengalir di tubuhnya dia
bahkan tidak sadar kalau darah pribumi mengalir di tubuhnya juga. Lingkungan sosial
yang sedemikian rupa telah membentuknya untuk memandang rendah orang-orang
pribumi. Menghadapi putra yang sedemikian rupa sebenarnya sudah membuat hati
Nyai Ontosoroh hancur. Dia berusaha menegur putranya itu, tapi lingkungan
sosial sudah sedemikian kuat membentuknya. Bisa saja dia berperilaku demikian
karena meniru bapaknya yang sudah kacau sejak Maurits datang.
Interval perjuangan Nyai Ontosoroh
bermula sejak kematian suaminya di sebuah rumah bordil. Hakim di Pengadilan berusaha
menjatuhkan hukuman kepadanya yang dianggap orang yang paling diuntungkan akan
kematian suaminya. Akhirnya berkat tulisan-tulisan Minke pengadilan memutuskan bahwa
Nyai Ontosoroh dan keluarganya tidak bersalah.
Nyai Ontosoroh tidak lalu puas. Dia
memprediksi akan ada masalah yang lebih besar dari permasalahan yang baru saja
dilaluinya itu.
Perjuangan Nyai Ontosoroh untuk
menyatukan Annelis dengan Minke yang dia anggap baik dan pantas menjadi
pendamping putrinya itu berhasil. Akhirnya restu dari ibu Minke didapatkan. Ayah
Minke yang awalnya berpikir bahwa Minke menyukai Nyai-nyai ternyata tidak benar.
Predikis Nyai Ontosoroh memang
benar. Pengadilan Eropa memutuskan untuk memisahkan Annelis dan Minke. Annleis
dianggap masih di bawah umur, maka pernikahan mereka dianggap tidak sah. Karena
Nyai Ontosoroh tidak dinikahi secara sah, maka Annelis harus diasuh oleh
pengasuh yang dihunjuk pengadilan Eropa. Annelis harus diberangkatkan ke
Belanda.
Nyai Ontosoroh kembali berjuang
di pengadilan. Menggugat hukum Eropa. Mereka memperjuangkan hukum Islam. Sempat
terjadi bentrokan dari para pekerja dan tokoh-tokoh agama Islam dengan pihak
pengadilan Eropa, tapi akhirnya mereka kalah dan Annelis harus berangkat ke
Eropa.
![]() |
Gambar dari cuplikan film "Bumi Manusia" diambil di sini. |
Seperti pesan Nyai Ontosoroh
kepada Minke, walau kita kalah, setidaknya “Kita sudah melawan, Nak,
sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya” begitulah perjuangan di Bumi Manusia,
justeru karena tidak adil maka kita harus melawan, walau tidak selalu membawa
piala kemenangan setidaknya kita sudah melawan, itulah menagapa kita pantas memberikan
penghormatan kita di hari bersejarah NKRI ini kepada Pahlawan Sastra Indonesia,
Pramoedya Ananta Toer, Beliau sudah melawan dengan tulisan-tulisannya. Pertanyaannya
adalah bagaimana cara kita melawan keidakadilan yang ada?
Nyai Ontosoroh tidak cengeng
dengan stigma negatif yang melekat pada seorang nyai. Dia tidak mau larut
dengan caci maki itu. Malah dia berusaha untuk mengisi hari-harinya dengan
hal-hal yang positif. Banyak hal-hal penting yang menurutnya lebih penting diperjuangkan
daripada sekedar menggubris cibiran dari para pemikir picik. Karena baik Eropa,
India, Cina, Indo, dan Pribumi, semuanya sama, sama-sama memiliki peluang yang
sama untuk berbuat baik atau buruk. Dan Nyai Ontosoroh, memilih untuk berbuat
baik.
KOMENTAR