![]() |
Diambil dari akun instagram putra bungsu Timotheus Polycarpus Teka da Lopez @andovidalopez |
Oleh: Rinto Namang
Sejarah
dirayakan, pertama-tama, bukan sebagai glorifikasi terhadap masa lalu, lebih
dari itu, ia dirayakan agar manusia semakin menemukan makna hidupnya dengan
belajar dari masa lalu di masa kini untuk masa depan yang lebih baik.
Merayakan
sejarah bukan merupakan sebuah upaya untuk menghubungkan antara kondisi masa
lalu dengan kondisi kekinian, melainkan suatu usaha manusiawi untuk senantiasa
menggali dan mencari bentuk terbaik dari dirinya sebagai seorang manusia.
Belajar dari sejarah artinya menjadi semakin manusiawi.
Setidaknya,
begitu cara Timotheus Polycarpus Teka da Lopez memaknai sejarah. Ia melihat
sejarah sebagai momentum untuk mempertanyakan kembali tentang eksistensi
manusia. “Siapa saja yang memperingati suatu peristiwa ‘historis’ akan
senantiasa mempertanyakan kembali mengenai: siapakah dirinya, untuk apakah ia
ada dan hidup dalam dunia atau masyarakat, ke manakah arah atau haluan hidup
serta perjuangannya…,” tandas da Lopez dalam pidato peringatan 25 tahun “Petisi
24 Oktober 1973 Dewan Mahasiswa Univeristas Indonesia di Universitas Indonesia
pada tanggal 24 Oktober 1998.
Menurutnya,
seseorang hanya boleh disebut sebagai manusia sejati, manusia dewasa, manakala
dalam hidupnya ia selalu berjuang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
introspektif-reflektif tersebut.
Usaha
untuk menjadi lebih manusiawi, tidak saja dilakukan dalam konteks individu
semata, tetapi lebih luas daripada itu bagaimana seseorang menjadi sesuatu yang
berguna bagi masyarakat di mana dia hidup.
Menurut
da Lopez, setiap orang, terutama mereka yang mendaku diri sebagai aktivis,
harus menjadi peka terhadap situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara.
“Esensinya,
peringatan 25 tahun “Petisi 24 Oktober 1973” merupakan momentum untuk
meningkatkan serta memperluas sikap untuk selalu peka, tenggang rasa, tanggap,
dan mawas diri tak hanya oleh mereka yang adalah ‘protagonis’ atau partisipan
sejarah petisi, tetapu juga oleh mereka yang hendak menjadikan isi atau pesan
petisi itu sebagai acuan, komitmen, dan haluan bagi gerak, kegiatan, dan
perjuangannya dalam menjawab berbagai tantangan situasi-kondisi masyarakat,
bangsa, dan negara yang urgen, lagi krusial,” tandasnya.
Bung
da Lopez adalah anak zaman yang tumbuh dalam kekangan rezim otoriter Orde Baru.
Bersama dengan Hariman Siregar dkk, ia berjuang menuntut agar cita-cita
kemerdekaan bangsa Indonesia menjadi milik seluruh rakyat dan bukan hanya milik
penguasa. Generasi aktivis 70an adalah mereka yang berjuang melawan melawan
despotisme Orde Baru sembari memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia
tersebut.
Maka
dikeluarkannya Petisi 24 Oktober 1973 sebagai tuntutan cita-cita Indonesia
merdeka karena menurut mereka hal itu sudah menyimpang dari rel perjalanan
bangsa Indonesia terutama karena abainya penguasa pada waktu itu.
“Petisi
tak lain merupakan tuntutan cita-cita Indonesia Merdeka sebagaimana termuat
dalam Pembukaan UUD 1945 yang dapat diidentifikasikan kurang lebih 8 cita-cita:
(1) kemerdekaan, (2) tegaknya HAM, (3) kesatuan bangsa, (4) negara kesatuan,
(5) keadilan sosial, (6) kedaulatan rakyat, (7) negara hukum, dan (8)
solidaritas antarbangsa,” tulis dia.
Dia
menganggap bahwa pemerintah pada waktu itu gagal mengakomodir kepentingan
bangsa terutama soal kedaulatan rakyat, kebebasan, HAM, keadilan sosial, dan
negara hukum. Rezim justru menjadi sewenang-wenang dalam berkuasa, mengabaikan
semua tuntutan cita-cita Indonesia Merdeka.
Baginya
kebebasan seseorang bukan hanya sekedar “bebas dari” tekanan dan intimidasi kekuasaan,
melainkan menyadari bahwa dirinya otonom untuk melakukan social control
terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa terhadap kemajuan
bangsa dan negara.
“Kita
jangan terpaku untuk terus menerus membicarakan bebas dari pengaruh seseorang
atau sekelompok orang yang kebetulan lagi berkuasa, karena jika demikian, sadar
atau tidak, kita ternyata bersikap pasif, reseptif, bahkan bisa hanya
konsumtif. Sepintas kita bebas atau independent, namun kebebasan kita hanyalah
kebebasan heteronom”.
“Kita
semua harus proaktif dan aktif dalam mengaktualisasikan prinsip kebebasan
otonom dalam arti bebas untuk mengevaluasi, menilai, mengkritik serta
pengkoreksi kebijakan-kebijakan dari siapapun yang kita akui atau kita anggap
sebagai pemimpin kita yang nota bene adalah policy and decision maker”.
Sikap
dan pandangan politiknya jelas dan tegas berada di luar kekuasaan. Saya kira
itu sebabnya beliau memilih untuk menjadi “oposisi” yang siap sedia
mengevaluasi dan mengkritik para pembuat kebijakan terutama yang menyimpang
dari cita-cita Indonesia Merdeka.
Saya
kira, bagi seorang Teka da Lopez tiada kenikmatan yang lebih nikmat dari
idealisme. Hidupnya menggambarkan idealisme perjuangannya sejak mahasiswa
hingga ajal menjemput; konsisten antara apa yang diucapkan dengan apa yang
dijalankan.
Pada
akhirnya sejarah memang dirayakan bukan untuk gagah-gagahan belaka, sejarah
dirayakan agar manusia semakin manusiawi dalam sikap dan tanggungjawabnya
mengabdi kepada idealisme dan perjuangannya.
Selamat
jalan Bung Teka da Lopez!
KOMENTAR