Photo Bersama Narasumber Seusai Diskusi Publik |
Selasa, 29 Oktober 2019, PMKRI mengadakan diskusi publik dengan tema, “Quo Vadis Hutan Adat di Sihaporas”, yang dihadiri Narasumber, Hotbeen Ambarita (Tetua Sihaporas), Roganda Simanjuntak (Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Tano Batak), Muldri Pasaribu (Akademisi), Djonner Sipahutar (Kepala UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah II Pematangsiantar), dan Prihartini Simbolon (Staf Advokasi Bakumsu). Dan dimoderatori oleh Edis Galingging (Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Pematangsiantar).
Kegiatan ini diawali dengan kata sambutan oleh beberapa pihak diantaranya yakni, Manandus Sitanggang, Lindung Samosir (Anggota DPRD Simalungun), dan Alboin Samosir (Ketua Presidium PMKRI Pematangsiantar). Alboin Samosir dalam kata sambutannya mengatakan, “dengan adanya diskusi ini untuk menyatukan pemahaman dan pengakuan terhadap hutan adat yang ada di Simalungun terkhusus dalam hal ini hutan adat di Sihaporas yang sedang diperjuangkan masyarakat, dan berharap dengan adanya diskusi ini akan melahirkan rekomendasi kepada pemerintah untuk memanfaatkan regulasi yang ada untuk menyelesaikan polemik hutan adat di Sihaporas.”
Setelah itu, acara berlanjut pada pemaparan setiap pemateri, dalam kesempatan ini moderator mempersilahkan Hotbeen Ambarita berbicara tentang sejarah masyarakat Sihaporas. Hootbeen Ambarita menyampaikan sejarah berdirinya eksisnya masyarakat adat di Sihaporas dalam bahasa Batak, menurutnya, “wilayah adat di Sihaporas dimulai sejak datangnya Oppung Mamontang Laut Ambarita ke Sihaporas, yang menjadi Nenek Moyang Sihaporas. Tercatat hingga kini telah ada 11 generasi yang masih memukimi wilayah hutan adat Sihaporas.
Baren Ambarita yang juga merupakan warga Sihaporas menambahkan, “ kami telah melalui perjalanan panjang agar kelak diakui sebagai hutan adat, perjuangan ini dimulai sejak tahun 1998 hingga saat ini, berbagai upaya telah dilakukan seperti bertemu dengan Bupati Simalungun, DPRD Simalungun, dan beberapa kementrian terkait dalam hal ini Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Serangkain aksi juga sudah dilakukan namun belum juga menemukan titik terang.”
Muldri Pasaribu mewakili Akademisi mengatakan, “permasalahan yang hingga saat ini masih membutuhkan perhatian pemerintah adalah permasalahan hutan adat, dari segi regulasi tidak lepas dari dominasai kolonial dalam melakukan eksploitasi sumber daya alam di Indonesia yang tidak terlepas dari Undang-undang Agraria tahn 1870 (Agrarische Wet 1870) setelah itu ada banyak regulasi yang mengatur tentang hutan adat di Indonesia yakni UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok Agararia hingga UU No 41 Tahun 1999. Dan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No 35 Tahun 2012.
Ia juga menambahkan, “pengakuan terhadap kesatuan masyarakat adat merupakan salah satu wujud dari tujuan negara Indonesia di dalam melindungi warganya. Di samping itu terdapat juga nilai-nilai yang pada akhirnya mencapai kesejahteraan bagi masyarakat luas. Konflik-konflik yang masih terjadi pasca Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 merupakan salah satu contoh ketidakseriusan pemerintah dalam mencapai tujuan hukum tersebut, untuk tingkat yang lebih serius perlu dirumuskan suatu regulasi yang komprehensif mengatur khusus mengenai masyarakat adat. Sebab pada gilirannya, kekuatan masyarakat adat akan menciptakan kekuatan karakter bangsa Indonesia di tengah-tengah pergaualan global saat ini.
Dalam materinya, Roganda Simanjuntak selaku Ketua AMAN Tano Batak memaparkan tentang mendorong pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Kabupaten Simalungun. Ia mengatakan dikeluarkannya sertifikat wilayah adat oleh Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) merupakan momentum agar negara segera mengakui hutan adat Sihaporas dalam hal ini Pemkab Simalungun, untuk segara mengeluarkan Perda ataupun surat keputusan Bupati tentang pengakuan hutan adat di Sihaporas. Masuknya korporasi ke wilayah hutan adat di Sihaporas tidak terlepas dari klaim sepihak oleh pemerintah sebagai hutan negara dan penguasaan hutan oleh perusahaan lewat HPH, HTI (IUPHHK-HA, IUPHHK-HT) PT Toba Pulp Lestari.”
Djonner Sipahutar (Kepala UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah II Pematangsiantar) mengatakan,”pada dasarnya negara sudah mengakui adanya hutan adat, tinggal bagaimana masyarakat agar mematuhi segala regulasi yang ada dan mengajukan permohonan hutan adat kepada bupati maupun DPRD. Ia juga mengajak agar permasalahan ini diselesaiakan dengan menyatukan persepsi, dan terkait ijn Toba Pulp Lestari, biarlah prosedur hukum yang akan mengatasinya.”
BAKUMSU selaku pihak yang mendampingi proses hukum yang terjadi antara masyarakat Sihaporas dengan pihak TPL. Dimana kericuhan yang terjadi pada tanggal 26 September 2019 telah mengakibatkan tersangkanya Jonny Ambarita dan Tomson Ambarita. Prihartini Simbolon selaku staf advokasi Bakumsu mengatakan, “ini merupakan kriminalisasi terhadap warga Sihaporas, dimana penetapan tersangka kepada mereka tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, dan hingga saat ini BAKUMSU komitmen untuk tetap mendampingi kasus ini dan juga telah memohonkan Surat penangguhan penahanan baik oleh istri mereka dan pihak lainnya, ia juga menambahkan agar mahasiswa sebagai agen perubahan agar tetap komitmen mengawal kasus ini.”
Anggota DPRD Simalungun, Lindung Samosir mengatakan, “agar setelah perdiskusian ini pihak yang terlibat dalam pengakuan hutan adat di Sihaporas segera duduk bersama dengan DPRD Simalungun untuk merumuskan hal-hal yang sifatnya merupakan bentuk pengakuan terhadap hutan adat.
Perdiskusian ditutup oleh moderator dengan mengajak seluruh pihak yang hadir dalam perdiskusian ini agar sama-sama mengawal kasus hutan adat di Sihaporas, dan hasil perdiskusian ini akan menjadi naskah yang digunakan yang nantinya dapat membantu masyarakat Sihaporas diakui kedudukannya sebagai masyarakat adat dengan hutan adat yang dimilikinya.
KOMENTAR