Banyak yang bilang bahwa tahun 2020 merupakan tahun yang berat. "Beberapa orang bahkan mengutuk tahun ini sebagai bentuk kemarahan dan kekesalan". Bencana-bencana skala nasional maupun global terus berdatangan seolah tak mau menunggu. Wabah Corona Virus Disease-19 (covid-19) menyedot perhatian terbesar dari penduduk bumi. Banyak orang terjangkit akhirnya saling menularkan. Beberapa negara bahkan menetapkan kejadian ini sebagai kejadian luar biasa. Banyak tokoh dunia yang menjadi korban. Para pejabat pemerintahan, artis-artis, pesepakbola bahkan pangeran kerajaan. Di dalam negeri baru-baru ini bencana alam seperti gempa bumi dan gunung meletus mulai menjadi-jadi. Banyak orang menjadi was-was.
Beberapa memanfaatkan moment untuk mecari keuntungan bagi diri sendiri, khususnya dalam kasus pandemi covid19. Kelangkaan masker, hand sanytizer maupun alat pelindung diri (APD) menjadi berita sehari-hari di masa pandemi. Panic buying terjadi dimana-mana. Masyarakat ramai-ramai membeli kebutuhan pokok untuk stock beberapa bulan ke depan. Alhasil akibat permintaan yang tinggi sementara produk yang terbatas menciptakan sebuah problema baru yaitu kenaikan harga dan kelangkaan barang. Kampanye Work From Home yang dicanangkan oleh pemerintah dengan hashtag "dirumahaja" dirasa bias kelas. Karena tidak semua pekerjaan bisa dilakukan dari rumah.
Para pengendara ojek online tentunya harus bekerja diluar rumah untuk menghantarkan setidaknya makanan yang banyak dipesan dari rumah-rumah selama karantina. Pedagang kaki lima juga mungkin akan kesulitan mengakses aplikasi jual beli online jika mereka harus diwajibkan bekerja atau berjualan dari rumah. Petani tentu harus menggarap ladang-ladang yang sudah terlajur ditanami sebelum pandemi datang kemudian. Ikan-ikan laut maupun air tawar belum bisa dipanggil kerumah. Ini juga tentu akan menyulitkan para nelayan.
Tanpa petani negara makan apa?
Media-media sosial mulai diisi oleh narasi-narasi buruk tentang tahun 2020. Tahun 2020 sudah menghajar kita habis-habisan bahkan sebelum kita sampai di pertengahan tahun. Begitu kira-kira keluhan para netizen, terutama para milenial dan generasi z yang komposisinya lebih dominan sebagai pengguna media sosial. Sebagian mengaitkan bencana yang datang bertubi-tubi ini dengan mitos dan hal-hal lain yang berbau Spiritual. Mengaitkan dengan kejadian kiamat misalnya. Yang lain mencoba mencari penjelasan logis berbasis sains.
Lantas bagaimana dengan kehidupan beragama?
Jika kita berfikir kegiatan keagamaan akan berhenti karena pandemi, mungkin kita keliru, walaupun tidak sedikit juga yang mendambakan demikian. Alasannya bermacam-macam, tetapi yang paling masuk akal adalah karena beberapa orang muak dengan gaya beragama orang Indonesia yang suka saling sikut. Hari ini akibat pandemi, kabar baiknya selain pencemaran udara yang berkurang, praktik intoleransi seperti pelarangan beribadah juga tampak menurun drastis. Ya bagaimana mau dilarang, kegiatan peribadatan saja tidak ada. Lagian kalaupun praktik intoleransi tersebut ada, masa yang akan demo pastinya sudah diusir karena melanggar aturan physical distancing.
Gambar. Nuruljadid.net |
Tapi jangan berfikiran terlalu jauh dulu. Satu hal yang pasti akibat pandemi, para penganut agama di Indonesia untuk sementara tidak lagi sibuk mengurusi urusan agama orang lain. Alasannya sederhana, kegiatan peribadatan agama masing-masing sedang terganggu. Para penganut agama ataupun kepercayaan mempunyai kesamaan dalam hal ritual, yaitu ibadah kelompok atau komunal. Umat Islam dalam setiap sholat Jum’at menggunakan konsep berjama’ah. Begitu juga umat agama lain seperti Kristen, baik Katolik maupun Protestan, biasanya melakukan kegiatan peribadatan atau misa dengan bersama-sama. Sulit mengatakan jika ada agama yang merasa tidak terganggu tata peribadatan konvensionalnya akibat pandemi.
Yang menjadi menarik kemudian adalah pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari orang-orang mengenai apakah kekacauan-kekacauan sosial yang hadir hari ini adalah bentuk dari hegemoni kelompok-kelompok besar yang cenderung menindas?
Jika benar demikian artinya pandemi berhasil (untuk sementara waktu) mempermalukan hegemoni kelompok-kelompok besar dengan cara yang cukup elegan.
Menelanjangi seremoninya yang rentan. Banyak penganut agama dipaksa berfikir ulang mengenai cara beragama. Bahwa ritual pemujaan sesungguhnya, yang abadi dan sulit untuk dihancurkan adalah dengan kembali pada substansi.
Kita umat beragama cenderung meninggalkan substansi welas asih itu sendiri. Substansi yang sebenar-benarnya hadir tanpa perlu dipancing oleh ritual keagamaan yang kaku dan semakin kesini cenderung mengglorifikasi seremoni. Justru ritual keagamaan hendaknya dijadikan sebuah pendorong untuk sebenar-benarnya mengabdikan diri bagi orang lain.
Baca juga: Saling Tuding Hingga Belajar Online, Orang Miskin Apa Kabar?
Baca juga: Saling Tuding Hingga Belajar Online, Orang Miskin Apa Kabar?
Bagi umat Katolik, selalu di akhir misa disampaikan “pergilah, Kita diutus!”. Jika menggunakan pemahaman tersebut rasanya jelas bahwa tata peribadatan sesungguhnya merupakan penyemangat untuk hal-hal yang lebih besar yang sebenar-benarnya harus kita panggul di masyarakat. Bagaikan domba yang dikirim ke tengah-tengah kawanan serigala. Maka ritual keagamaan bisa dimaknai sebagai spirit baru yang telah kita dapat setelah briefing dengan Sang Kepala Gerakan.
Maka jangan heran ketika pandemi datang, kecenderungan-kecenderungan mengglorifikasi seremoni justru secara perlahan namun pasti merongrong kegiatan “umat beriman” dari dalam. Kejayaan agama-agama besar yang coba menampilkan wajah hegemoninya melalui membludaknya umat yang menghadiri perayaan keagamaan, pakaian rapi dan wangi serta atribut-atribut duniawi lainnya yang tanpa menghadirkan substansi perlahan ditampar oleh keadaan.
Ah, Tuhan memang sangat pandai bermain-main, hanya untuk sekedar mengingatkan kita.
*Penulis adalah Ketua Presidium PMKRI Cabang Padang.
Mungkin Anda menyukai video ini:
KOMENTAR