Oleh: Putra Jaya Raya Saragih
Ketua PMKRI Cabang Pematangsiantar Santo Fransiskus dari Assisi Peiode 2017-2018
Salam ....
Pro Ecclesia et Patria
Aku teringat akan peristiwa tempo
lalu yang saya baca dari buku sejarah. 89 Tahun yang silam, para pemuda
berkumpul di Batavia (Jakarta).
Atas dasar tujuan bersama yakni
mengusir kolonial, memperjuangkan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Mereka (Pemuda)
mengikrarkan Sumpah Pemuda. Hari itu mereka bersumpah BERTUMPAH DARAH SATU SATU, TANAH AIR INDONESIA. BERBANGSA SATU,
BANGSA INDONESIA. MENJUNJUNG BAHASA PERSATUAN, BAHASA INDONESIA.
Sekian tahun lamanya sumpah itu
masih dikobarkan sampai sekarang. Sumpah itu adalah simbol kekuatan dan
persatuan Pemuda. Sejarah telah
membuktikan atas kekuatannya. Mulai dari memperjuangkan kemerdekaan Indonesia,
meruntuhkan orde lama (peristiwa ‘66), hingga meruntuhkan pemerintahan otoriter
yang membungkam demokrasi (peristiwa ‘98) sebagai tanda dimulainya Era
Reformasi.
Hari ini kita bebas bersuara,
bebas berekspresi, bebas berkarya tapi sayang kebebasan itu jadi kebabalasan.
Terkhusus untuk Pemuda/Mahasiawa,
mereka telah banyak terhanyut oleh modernisasi Global. Mereka telah lupa atas
tugas dan tanggung jawabnya sebagai kaum Muda, generasi penerus bangsa,
katanya.
Pemuda/mahasiswa sudah banyak
hanyut, terjebak dengan euforia kekuatan yang dulu. Para pemuda/mahasiswa sudah
lupa dengan budaya diskusi. Lebih suka gosip dari pada mengkaji permasalahan
bangsa ini secara serius. Seolah diskusi adalah pekerjaan terberat, apa yang
salah?
Katanya Kaum intlektual (mahasiswa)
tetapi tidak mampu membaca dengan baik, mudah terpengaruh dengan hoaks,
seolah-olah tidak bisa lagi membedakan
apakah itu hoaks atau fakta, entahlah karna lebih suka dan percaya sama hoaks.
Katanya kaum intelektual tetapi
malas membaca buku yang tebal. Lebih suka baca tulisan pendek yang banyak
tersebar di medsos. Lebih memilih sampah (hoaks)/artikel yang banyak bertaburan di media sosial daripada
baca buku atau media cetak yg telah memiliki hak paten. Entahlah mereka lebih
suka sama barang murah meriah.
Katanya kaum intelelektual tapi
tak mau menuliskan gagasan, ide atau
karyanya. Mereka jauh lebih senang mengetikkan kalimat pendeknya media sosial,
tebar pesona dll.
Tapi menurutku pemuda saat ini
bukannya tidak mampu diskusi, menulis, dan berkarya untuk kemajuan bangsa ini.
Tapi MALAS, malas diskusi, malas
membaca, malas menulis, malas berkarya, sehingga banyak yang melupakan proses. Proses
pembangunan karakter jadi terpotong, sehingga yang terlahir adalah karakter
instan, hura-hura, hedon, lupa akan nilai-niai kemanusiaan, nilai moral dan
lain sebagainya.
Hari ini (ketika tulisan ini
ditulis), seluruh rakyat Indonesia terkhusus para Pemuda/mahasiswa memeringati
hari Sumpah Pemuda. Mereka dengan lantang mengucapkan sumpah pemuda, tapi tidak menghayati pesan dan nilai-nilai
dari sumpah itu.
Ada pemuda/mahasiswa memilih diam
atas masalah di negara ini. Sebagian bersuara
lantang mengkritisi kebijakan pemerintah, tapi tak punya referensi atau
analisis yang kuat, apa lagi memberi
tawaran solusi yang konkrit. Bersuara lantang tolak korupsi, tapi telah
melalukan praktik korupsi dalam skala kecil. Mereka melakukan penghianatan
intelektual di kampusnya juga di masyarakat. Pemuda saat ini banyak yang acuh
tak acuh, munafik, sombong, merasa paling hebat dan lain sebagainya.
Kalau begini keadaan
pemuda/mahasiswa, siapa yang salah?
Pendidikan kah?
Lingkungan?
Atau orang mudanya sendiri?
Atau pemerintah?
Saat ini kita tidak perlu
menyalahkan yang lain, tak perlu lagi saling menuntut. TAPI AYO KEMBALI KE
JALAN YANG BENAR, TINGGALKAN ZONA NYAMAN, SAATNYA YANG MUDA BERKARYA!!!
Mari LAWAN malas, bangun KARAKTER
diri yang utuh. Tinggalkan ego masing-masing, rendah hatilah, terapkan
Pancasila dalam hidup bernegara dan bermasyarakat.
Hari ini kita memeringati Sumpah
Pemuda, masa depan bangsa berada di tangan para Pemuda/Mahasiswa yang sering
disebut Agent of Change. Semoga momen
ini bukan sebatas seremonial belaka, tapi mari merefleksikan "Pemuda:
Dulu, Sekarang dan masa depan"
Coba kita perhatikan alam ini, dia
mengajarkan akan kelembutan, kesabaran. Walau kita tak pernah bersyukur atas
perannya dalam memberi kehidupan bagi kita, tetapi kita justru merusaknya, tapi
lihatlah dia tetap setia memberikan yang terbaik.
Jangan salah kawan, jika kita mau
bersyukur, dan merawat dia, maka dia akan melipat gandakan lagi pelayanan
terbaiknya.
Demikian juga dalam bernegara
ini, jika kita dengan tulus memperbaiki peradaban, merawat kearifan lokal,
menjaga kedamaian maka kita akan hidup damai dan sejahtera.
Dan sebaliknya jika kita merusak
NKRI tercinta ini, maka kita akan hidup kacau.
Saat ini kita tinggal memilih,
mau hidup sejahtera? Terapkan Nilai nilai Pancasila dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Pro Ecclesia et Patria!!!
KOMENTAR