![]() |
Gambar dari sini |
Setelah diadopsi dari kata ‘hoax’ kini
penulis Indonesia dapat menggunakan hoaks (lihat di sini). Ya, menggunakan kata
‘hoaks’ bukan menyebarkan berita bohong ya! Istilah ini sama sekali tidak lagi
baru. Penggunaan kata hoaks pertama kali muncul pada tahun 1808. Asal kata 'hoax' diyakini ada sejak ratusan tahun sebelumnya,
yakni 'hocus' dari mantra 'hocus pocus'. Frasa yang kerap disebut oleh pesulap,
serupa 'sim salabim'. Baca lebih lanjut di sini.
Sim salabim yang tidak manjur akan mencoreng wajah pesulap sendiri, maka untuk
menghindari itu, berbagai cara dilakukan untuk membuat sulapnya tampak riil di
mata penyaksinya.
Keberadaan berita bohong yang begitu meresahkan banyak orang itu
mendatangkan inisiatif beberapa untuk menciptakan berbagai aplikasi yang bisa
mendeteksi apakah berita yang sedang kita baca adalah nyata apa adanya atau
hoaks, salah satunya adalah ‘turn back hoax’. Keresahan itu sangat wajar
mengingat tidak ada satupun dari kita yang suka di-bohong-i.
Selain beberapa aplikasi yang sudah
diciptakan untuk mendeteksi hoaks ada 3 langkah penting yang bisa dilakukan
untuk mendeteksi hoaks. Pertama, Cross
Check Judul Berita Provokatif, kedua, Cek URL Situs Web, ketiga,
Cek Foto. Keterangan lebih lanjut baca di sini.
![]() |
Gambar dari sini |
Setidaknya ada dua motif mengapa orang
memproduksi hoaks, clickbait[1]
dan menghasut atau memprovokasi orang lain yang tentunya demi keuntungan si
produsen sendiri.
Tapi mengapa kita begitu gampangnya
dibohongi? Saya lebih setuju dengan ulasan ini
dari pada yang ini.
Manusia adalah makhluk yang 'kikir secara
mental' - dari pada membuang-buang energi dan waktu, otak kita lebih memilih
untuk mempercayai intuisi dibandingkan analisa[2].
Di Indonesia angka penyebaran hoaks
mencapai 800 ribu konten per tahun[3].
Walaupun penyebaran hoaks tidak hanya berdampak buruk di Indonesia, penyebaran
hoaks yang sangat massive di
Indonesia bisa saja karena tingkat literasi kita yang buruk. Dari hasil PISA
tahun 2015, Indonesia berada pada urutan ke-64 dengan rata-rata skor 397 dari
70 negara partisipan yang dites, rata-rata skor seluruh partisipan adalah 493. Kalah
satu skor dari Peru, dengan rata-rata skor 398 sedangkan Singapura merupakan
negara tertinggi skornya, yakni 535[4]. Klop
sudah, hoaks diproduksi dengan massive di
tengah masyarakat yang tingkat literasinya rendah.
![]() |
Gambar dari sini |
Literasi pada hakikatnya tidak hanya
sekedar kemampuan membaca dan menulis, tapi memahami, melibati, menggunakan,
menganalisis, dan mentransformasi teks karena fakta bahwa banyaknya hoaks yang
sedang beredar maka mutlak diperlukan berliterasi secara kritis.
Pada era digital sekarang, kita memang
hampir bisa memperoleh semua informasi yang kita perlukan di internet, namun
satu informasi yang kita cari bisa disediakan ribuan informasi terkait hal yang
kita cari. Terikait informasi yang banyak itu, kita tidak diberitahukan mana
informasi yang benar dan salah. Maka keterampilan literasi dibarengi dengan fondasi
pengetahuan yang mumpuni mutlak diperlukan, kalau tidak kita akan dengan mudah
jatuh pada miskonsepsi, prasangka dan steriotipe.
Bahanya lagi, hoaks yang disebarkan
secara terus menerus bisa meyakinkan pembacanya dan akhirnya percaya bahwa berita
itu adalah benar. Senada dengan pendapat Joseph Goebbels “Kebohongan yang
diulang-ulang akan menjadi kebenaran (bagi yang terperdaya)”. Tidak hanya itu,
hoaks bisa sampai pada pembunuhan karakter seseorang pun kelompok.
Baca juga: Ayo bangun budaya literasi dalam keluarga!
Kesimpulannya
adalah (1) banyak hoaks yang sedang beredar, (2) tidak sengaja (atau sengaja)
kita sebar ulang karena (3) malasnya kita menganalisa informasi yang kita
konsumsi, malasnya menganalisa itu karena (4) tingkat literasi kita yang rendah.
Sebenarnya (5) tidak satupun dari kita yang senang dibohongi, maka untuk tidak
dibohongi perlu (6) meningkatkan daya kritis kita terhadap teks, dan itu hanya boleh
diperoleh dengan (7) banyak membaca referensi dari sumber terpercaya dan senantiasa
(8) menjaga daya kritis (tidak mudah percaya sebelum fakta-fakta yang mumpuni
tersedia).
Baca juga: Pelajaran hidup di balik film Crazy Rich Asians
Baca juga: Pelajaran hidup di balik film Crazy Rich Asians
Oleh: Tomson Sabungan Silalahi
[1]adalah
suatu istilah peyoratif yang merujuk kepada konten web yang
ditujukan untuk mendapatkan penghasilan iklan daring, terutama
dengan mengorbankan kualitas atau akurasi, dengan bergantung kepada tajuk sensasional
atau gambar mini yang
menarik mata guna mengundang klik-tayang (click-through)
dan mendorong penerusan bahan tersebut melalui jejaring sosial daring.
Tajuk umpan klik umumnya bertujuan untuk mengeksploitasi "kesenjangan
keingintahuan" (curiosity gap) dengan hanya memberi informasi yang cukup
membuat pembaca penasaran ingin tahu, tetapi tidak cukup untuk memenuhi rasa
ingin tahu tersebut tanpa mengklik pada tautan atau pranala yang
diberikan. (https://id.wikipedia.org/wiki/Umpan_klik)
[2] https://www.bbc.com/indonesia/vert_fut/2016/04/160421_vert_fut_dibohongi
diakses pada 27 September 2018 pukul 23.02
[3] https://www.idntimes.com/news/indonesia/linda/angka-penyebaran-hoax-capai-800-ribu-konten-di-pilkada-terus-meningkat/full
diakses pada 10 September 2018, pukul 02.14
KOMENTAR