Bagong Sialangan, Metro Manila, The Philippine, Verbivora - Irma, ibu 62 tahun ini harus menahan sakit hati yang mendalam terhadap pemerintah Filipina terutma Rodrigo R. Duterte, Presiden Filipina yang telah memerintah Filipina selama kurang lebih 2 (dua) tahun.
Anaknya ditangkap oleh polisi Filipina pada saat dia berada pada acara pemakaman, dia dibawa ke tempat terpencil yang gelap sebelum dieksekusi. Pukul 23.30 sesaat sebelum dia diangkut ke tempat pembunuhan itu tampak 20 (dua puluh) orang polisi, semuanya menggunakan topeng, dan 4 (empat) di antaranya menggunakan baju biasa sementara yang lainnya menggunakan seragam polisi.
Tampak empat orang berdiri di belakangnya sebelum lampu dimatikan. Keadaan sekitar tiba-tiba gelap, ada suara polisi yang menginstruksikan kepada semua orang untuk lari.
Usia putra ibu Irma adalah 40 pada saat pembunuhan itu terjadi, 31 Agustus 2016. Meninggalkan seorang putri sesudah bercerai dengan istrinya. Tulang punggung keluarga akhirnya harus meninggalkan mereka selamanya.
Seminggu sebelum kejadian naas itu terjadi, ibu Irma dan putranya melaporkan diri ke kantor polisi untuk mendapatkan perlindungan karena takut sewaktu-waktu bisa dibunuh, karena kasus pembunuhan semena-mena oleh polisi sudah kerap terjadi.
Ketakutan itu muncul karena desas-desus dari tetangga ibu Irma yang menyatakan bahwa putranya adalah seorang penjual narkoba. Namun, alih-alih terlindungi, putranya malah menjadi korban pembunuhan oleh polisi.
Peristiwa serupa ternyata sudah kerap terjadi. Di Bagong Sialangan sendiri sudah terjadi 45 (empat puluh lima) kasus serupa. Ketakutan masyarakat sekitar sudah sangat memprihatinkan. Tergambar ketika peristiwa yang sama terjadi, saat penangkapan sedang berlangsung, tidak ada seorangpun tetangga yang akan berani menyaksikan, tidak ada seorangpun yang ingin menjadi saksi penembakan itu.
![]() |
Ibu Irma |
Anak ibu Irma ternyata tidak sendiri, dari 6 (enam) orang yang melaporkan diri ke Kantor Polisi, rata-rata 5 di antaranya dieksekusi di hari-hari yang berbeda. Semua orang yang melaporkan diri justeru menjadi target empuk dari polisi. Hal ini diungkapkan oleh Ibu Roselle Tullao dari organisasi Rise Up yang didirikan oleh Pastor Gilbert.
"Dari 6 orang yang melaporkan diri ke Kantor Polisi, 5 orang di antaranya pasti dieksekusi dengan berbagai cara, sampai mengarang-ngarang bukti agar seolah-olah korban adalah pemakai atau penjual narkoba" ungkap Roselle.
Rise Up didirikan karena keprihatinan akan pembunuhan semena-mena yang dilakukan oleh polisi Filipina dalam rangka War on Drugs - Perang Melawan Narkoba, tagline yang diserukan oleh Duterte. Tidak ada pengampunan bahkan pengadilan bagi masyarakat Filipina yang terindikasi pemakai atau penjual narkoba.
Menurut Nancy, salah satu relawan di Rise Up, polisi cenderung pandang bulu dalam operasi perang melawan narkoba. Jika orang miskin yang terindikasi sebagai pemakai atau penjual narkoba maka akan dibunuh namun jika orang kaya atau selebritis polisi hanya memberikan hukuman penjara.
"Jika kamu miskin maka kamu akan dibunuh (jika terindikasi sebagai pemakai narkoba) namun jika ketepatan kamu adalah orang kaya atau selebritis, maka polisi hanya akan menahan di penjara dan tidak dibunuh" ungkap Nancy.
Kehadiran Rise Up memberikan harapan baru bagi setiap korban yang mereka temui. Dari melakukan advokasi terhadap orang-orang yang ditinggalkan anggota keluarga yang dieksekusi semena-mena oleh polisi, Rise Up juga membagikan kasih lewat bantuan pada anak yatim piatu karena orang tua mereka menjadi korban operasi perang melawan narkoba.
![]() |
Ibu Nanet yang anaknya (14 tahun) juga ditembak polisi. |
Sejak menjadi presiden Filipina pada Juni 2016, Rodrigo Duterte meluncurkan perang terhadap narkoba yang telah mengakibatkan kematian di luar hukum ribuan pengguna dan penjual narkoba di seluruh negeri. Duterte melihat pengedaran dan kecanduan narkoba sebagai "hambatan utama bagi kemajuan ekonomi dan sosial di Filipina," kata John Gershman, seorang ahli politik Filipina. Baca ini. Perang terhadap narkoba adalah kebijakan domestik Duterte dan mewakili perpanjangan kebijakan yang telah dia terapkan sebelumnya dalam karier politiknya sebagai walikota kota Davao.
Semoga cara-cara yang represif seperti selama ini terjadi segera berakhir dan pemerintah Filipina lebih memilih cara-cara preventif. Semoga Hak Asasi Manusia menjadi perhatian semua orang. (T/S)
KOMENTAR