Dunia kita tidak akan pernah sama
lagi dengan yang sebelumnya, sebelum Covid-19 mendisrupsi semua tatanan
kehidupan kita. Dulu kita masih boleh ogah-ogahan menggunakan berbagai kemudahan
yang disuguhkan oleh teknologi. Alasan bisa beragam untuk tidak menghemat biaya
pertemuan-pertemuan karena harus membayar biaya gedung dan transprotasi. Salah satu alasan yang paling klise adalah
“kalau tidak bertemu langsung, seperti ada yang kurang, nggak sreg aja”.
Kita masih enggan untuk berubah. Kasali (2017) mengingatkan kita dalam buku Disruption
bahwa kita terbelenggu oleh pola pikir lama sehingga sulit menerima fakta-fakta
dan cara-cara baru, kita menyangkal dunia digital.
Penulis masih sangat ingat ketika
sedang bimbingan skripsi dengan para dosen pembimbing. Harus tatap muka. Saat
itu penggunaan surat elektronik sudah sangat massif. Tapi entah kenapa
dosen-dosen tidak mempertimbangkan untuk menggunakan platform itu.
Apakah mereka begitu sirik jika mahasiswanya tidak mengeluarkan biaya
transportasi hanya untuk bertemu dengannya secara langsung? Belum lagi drama
yang terjadi setelah tiba di tempat sesuai kesepakatan sebelumnya, maksud saya,
dosennya tiba-tiba memberi kabar tidak bisa bertemu saat itu. Masih mending,
ada yang lebih parah, dosen tidak memberi kabar apapun, dan mahasiswa menunggu
sampai berjam-jam, hingga malam pun tiba sementara baterai hp sudah habis.
Keesokan harinya, saat mahasiswa membuka hp, sms memarahi dari dosen diterima.
Saat ini, karena penyebaran virus
corona jenis baru ini sangat ganas, sangat dianjurkan untuk tidak ada pertemuan
langsung, face to face. Tidak ada pertemuan-pertemuan berskala besar
kalau masih ingin hidup lebih lama. Untuk memutus penyebaran virus ini, semua
harus taat untuk tidak berkerumun dulu, menekan hasrat untuk hang out di
café kesayangan, misalnya.
Anjuran itu tentu tidak lepas
dari dunia pendidikan. Kini pembelajaran dilakukan lewat media daring. Guru/dosen
di rumah, para siswa/mahasiswa juga di rumah. Biaya transportasi ke sekolah
tersubstitusi menjadi biaya membeli paket internet. Syukur di beberapa kampus
ada kebijakan yang memberikan paket internet kepada mahasiswanya dan berhasil
membuat mahasiswa di kampus lain cemburu.
Kegamangan demi kegamangan
terungkap dengan perubahan yang serba mendadak ini. Guru/Dosen tua yang selama
ini tidak mau beradaptasi dengan teknologi, yang selalu menyangkal dunia
digital, dipaksa untuk belajar mengerahkan segala kemampuannya untuk berubah.
Guru-guru di daerah yang jaringan internetnya masih terputus-putus pasti
kehilangan kontak dengan siswanya. Tugas diberikan sehari sebelum siswa-siswi
dirumahkan tanpa meberi bekal yang cukup. Siswa bosan, orang tua uring-uringan
sementara pandemi belum tahu kapan berakhirnya.
Sebelum Covid-19 ada dan
mendisrupsi tatanan hidup makhluk sosial bernama manusia, sudah ada banyak
media belajar daring tersebar, ada banyak yang gratis ada pula yang berbayar.
Manusia bisa belajar apa saja sesuai minatnya, belajar di mana saja dan kapan
saja waktunya ada, semuanya fleksibel, asalkan tiga syarat berikut terpenuhi:
ada hp pintar atau alat sejenisnya, ada paket internet dan ada sinyal.
Seandainya
Kita andaikan pemerintah kita
hari ini sangat baik dan sudah berhasil memberikan tiga syarat di atas di
seluruh Indonesia, gratis, iya gratis karena terutama paket internet sekarang
sudah seperti kebutuhan pokok apalagi di tengah pandemi begini. Dengan maraknya
pembelajaran-pembelajaran daring boleh diprediksi sekolah-sekolah dan
kampus-kampus formal kita akan sama nasibnya dengan kebanyakan gereja-gereja di
Eropa yang tidak diminati lagi, bila tidak segera berbenah.
Tentu kita tidak lupa dengan
sejarah berdirinya lembaga-lembaga pendidikan. Awalnya di Yunani Kuno, para
orang tua mengajak anak-anaknya ke suatu tempat bertemu orang yang dianggap
bijaksana lagi pandai untuk mengisi waktu luang. Agar anaknya bisa menjalani
hidup dengan baik kala mereka sudah menjadi dewasa nanti. Dan orang bijak
pandai itu sekarang bernama Google. Google memberi hampir semua yang kita cari
kecuali transfer nilai, Google masih belum efektif untuk melakukannya.
Sejarah almamater ini jangan
sampai kita lupa bahwa lembaga pendidikan berfungsi untuk mempersiapkan generasi
muda agar kelak mampu menjalani hidup dengan baik. Dengan baik berarti mampu
beradaptasi dengan perubahan dan memberikan kontribusi positif bagi
lingkungannya (nilai). Kalau bimbingan skripsi saja harus tatap muka bagaimana
kampus akan mampu bertahan di tengah-tengah kekacauan seperti ini?
Baca juga: Manusia-manusia tidak berguna.
Google sudah mampu menyediakan
berbagai informasi yang perlu untuk meningkatkan kemampuan kita maka tugas
lembaga pendidikan seharusnya sudah lebih gampang. Lembaga Pendidikan harus
tahu bagaimana ilmu yang didapat siswa/mahasiswa diimplementasikan dengan baik
tanpa merusak lingkungan (nilai).
Bila Covid-19 Sudah Berlalu
Dengan anjuran #WFH atau
#dirumahaja kita sudah dipaksa untuk mengakui fakta dunia digital itu. Seluruh
dunia kini menyadarinya. Manusia Indonesia harus mulai menerima bahwa dunia
digital sudah nyata, semua orang di dunia sudah cemplung di dalamnya.
Agar dunia pendidikan kita tetap
berjalan sesuai fungsinya para tenaga pendidik, guru dan dosen, tidak bisa lagi
menyangkal perkembangan teknologi. Realitas kini sudah bergeser ke dunia
digital. Pemerintah tidak kalah perannya agar memastikan pemerataan di semua
wilayah NKRI. Tidak ada lagi keluhan-keluhan sinyal tidak stabil. Tidak ada
lagi ruang untuk menyangkal fakta dunia digital ini. Kalau Lembaga Pendidikan,
lembaga yang tugasnya mempersiapkan generasi muda untuk melanjutkan estafet
kepemimpinan masih menyangkal, Indonesia akan selalu tertinggal di belakang.
Bila Covid-19 sudah berlalu
Lembaga Pendidikan dan Pemerintah harus segera berbenah. Kesadaran dunia
digital yang sudah mulai tumbuh ini harus tetap dijaga. Bukan karena Covid-19
saja, namun jauh lebih signifikan seperti pengurangan penggunaan kertas dan energi
untuk alat transportasi. Kita boleh merasakan hari-hari belakangan bumi mulai
bergairah karena polusi yanag berkurang drastis.
Nilai-nilai yang berorientasi
pada lingkungan inilah yang seharusnya sudah mulai digalakkan lagi di dunia
pendidikan kita. Demi kebaikan berasma, kebaikan semua ciptaan. Lagipula, kita
tidak pernah tahu kan wabah apa lagi yang akan datang menimpa kita?
Mungkin Anda menyukai video ini:
KOMENTAR