Pasar Horas: Api, Ingatan, dan Nadi Kota Siantar

 

Foto: Kristof A. Duha*

Pukul 13.30 WIB, 22 September. Asap hitam menggulung dari lantai dua Gedung Barat Pajak Horas. Api menjalar cepat, melahap kios-kios yang selama puluhan tahun menjadi sandaran hidup ratusan keluarga. Sekitar 400 lapak hangus. Siang itu, Pasar Horas—nadi ekonomi dan ruang temu lintas etnis Kota Pematangsiantar—kembali diuji.

Namun Pajak Horas bukan sekadar bangunan yang terbakar lalu dibangun ulang. Ia adalah cerita panjang tentang kota: tentang ekonomi rakyat yang tumbuh bersama budaya, tentang trauma yang diwariskan, dan tentang daya pulih yang terus dipraktikkan dari generasi ke generasi.

Jejak Pajak Horas bermula sekitar 1917. Saat itu, Pematangsiantar masih kota kecil dengan penduduk sekitar 30 ribu jiwa. Di lahan yang kini dikenal sebagai kawasan Trikora, dibangun sebuah pasar terkoordinir untuk memenuhi kebutuhan harian warga. Dari sinilah denyut ekonomi kota mulai berpusat. Pasar menjadi ruang bertemu: orang Batak, Tionghoa, Jawa, Minang, dan etnis lain saling menyapa dalam bahasa tawar-menawar.

Perubahan besar terjadi pada 1958–1960. Sebanyak 52 toko permanen berdiri di sepanjang Jalan Surabaya. Pasar Horas tak lagi sekadar tempat jual beli, melainkan simbol ekonomi lokal. Nama “Horas”—sapaan khas Batak yang berarti selamat dan sejahtera—melekat sebagai doa kolektif: agar kehidupan di pasar selalu berjalan.

Sejak itu, Horas menjadi tulang punggung ekonomi rakyat. Ribuan keluarga menggantungkan hidup dari lorong-lorong sempitnya: pedagang kecil, buruh angkut, sopir, hingga pemasok dari desa-desa sekitar. Lebih dari fungsi ekonomi, Horas adalah ruang sosial. Identitas berkelindan tanpa perlu dirayakan secara formal. Perbedaan menjadi keseharian.

Kerusuhan 1998 mengoyak banyak kota di Indonesia, termasuk Pematangsiantar. Pajak Horas menjadi saksi bisu. Sejumlah toko milik etnis Tionghoa dirusak, ketakutan menyebar cepat. Namun di tengah situasi itu, muncul kisah yang jarang ditulis. Masyarakat pribumi dan organisasi pemuda berdiri melindungi. Beberapa memasang ulos di depan toko-toko Tionghoa—tanda perlindungan, tanda persaudaraan. Di Pasar Horas, kekerasan dan solidaritas hadir dalam waktu yang sama.

Meski demikian, trauma tak serta-merta hilang. Banyak pedagang Tionghoa kemudian menutup diri, berjualan di area tertentu, memasang jeruji besi. Ingatan 1998 terpatri dalam arsitektur pasar: pintu besi, pagar, dan kewaspadaan yang diwariskan diam-diam.

Pasca-1998, pengelolaan pasar ikut berubah. Tahun 2009 Pasar Horas berada di bawah Pemerintah Kabupaten Siantar Barat, lalu pada 2011 diserahkan ke Dinas Pasar Kota Pematangsiantar. Melalui Perda Kota Pematangsiantar No. 5 Tahun 2014, dibentuk PD Pasar Horas Jaya dengan mandat modernisasi, pengembangan potensi pasar, serta peningkatan kesejahteraan dan lapangan kerja.

Pandemi COVID-19 kembali menguji daya tahan pasar tradisional ini. Pembeli berkurang, jam operasional dibatasi, pendapatan menurun drastis. Namun Horas bertahan, dengan cara-cara lama: saling menopang, saling percaya.

Ujian berikutnya datang pada 22 September. Api diduga berasal dari korsleting listrik di salah satu kios. Tiupan angin dan banyaknya bahan mudah terbakar membuat api cepat menjalar. Petugas pemadam mengerahkan beberapa unit mobil untuk menjinakkan kobaran. Tidak ada korban jiwa, namun kerugian materi diperkirakan mencapai ratusan juta rupiah. Ratusan pedagang kehilangan mata pencaharian dalam hitungan jam.

Di tengah puing dan bau hangus, solidaritas kembali muncul. Pedagang saling berbagi lapak, berbagi makanan, berbagi tenaga. Di saat negara hadir lewat investigasi dan imbauan kehati-hatian penggunaan listrik, warga pasar hadir dengan empati yang nyata.

Di balik hiruk-pikuk kios, Pasar Horas juga terikat oleh regulasi. Perda No. 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Perwali No. 3 Tahun 2024 tentang PBB menjadi payung hukum pendapatan daerah. Semuanya berakar pada UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. Bagi pedagang, pasal-pasal itu hadir sebagai biaya, kewajiban, dan kadang kecemasan.

Dinamika nasional turut memengaruhi kehidupan pasar. UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan menetapkan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen mulai 2025, meski beban efektif barang bukan mewah tetap 11 persen. Sistem CoreTax diberlakukan penuh, pelaporan pajak menjadi digital dan terintegrasi. Semua perubahan itu menuntut adaptasi, bahkan bagi pedagang tradisional yang terbiasa dengan pencatatan manual.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara merencanakan revitalisasi Pajak Horas pada 2025. Harapannya sederhana namun berat: pasar yang lebih aman dari kebakaran, lebih tertata, tanpa menghilangkan karakter dan ingatan yang telah membentuknya selama lebih dari satu abad.

Karena Pajak Horas bukan sekadar ruang ekonomi. Ia adalah arsip hidup Kota Pematangsiantar. Dari 1917 hingga hari ini, pasar ini telah melewati kolonialisme, pembangunan, kerusuhan, pandemi, dan api. Bentuknya boleh berubah, tetapi fungsinya tetap: menjadi ruang hidup.

Selama masih ada pedagang yang membuka lapak di pagi hari, menyusun dagangan sambil menyapa “Horas”, denyut pasar ini akan terus bertahan—sebagai cermin sosial, ekonomi, dan keberanian sebuah kota.(*)

*Penulis merupakan mahasiswa Universitas Efarina dan anggota PMKRI Cabang Pematangsiantar.