Salah Kaprah Negara Merespon Bencana

 

Foto: Kristof A. Duha*

Sumatera Utara sedang tidak baik-baik saja. Dalam beberapa pekan terakhir, banjir dan tanah longsor melanda sejumlah wilayah—dari Sibolga hingga Tapanuli. Rumah hancur, kebun rusak, korban jiwa berjatuhan. Banyak warga kehilangan tempat tinggal, sebagian lainnya hidup dalam trauma yang belum sempat dipulihkan.

Bencana ini kerap disebut sebagai “musibah alam”. Tapi menyederhanakannya sebagai soal hujan deras semata adalah bentuk pengingkaran. Alam tidak bekerja sendirian. Kerusakan hutan yang berlangsung bertahun-tahun—akibat penebangan masif dan tata kelola yang longgar, ikut membuka jalan bagi bencana ini. Hutan yang seharusnya menjadi penyangga air dan tanah berubah menjadi ladang produksi yang rapuh.

Di tengah situasi genting itu, publik justru dikejutkan oleh pernyataan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman, yang menegaskan bahwa masyarakat dilarang mengambil kayu gelondongan yang terbawa banjir karena kayu tersebut adalah milik negara. Logikanya sederhana: apa pun yang berasal dari hutan adalah milik pemerintah.

Pernyataan itu terdengar legal, tapi kehilangan empati.

Bayangkan warga yang rumahnya hanyut, dapurnya hilang, dan kebunnya rusak. Di depan mereka terdampar kayu—bukan untuk dijual, tapi untuk bertahan, memperbaiki rumah, sekadar punya atap sementara. Namun yang datang justru larangan. Negara hadir bukan sebagai penolong, melainkan penjaga aset.

Pertanyaannya sederhana: jika kayu itu milik negara, apakah bencana yang membawanya juga menjadi tanggung jawab negara?

Negara tidak bisa hanya rajin mengklaim hak tanpa bersedia memikul kewajiban. Ketika hutan dieksploitasi melalui izin-izin konsesi, negara adalah pemberi restu. Maka, ketika ekosistem rusak dan bencana datang, negara semestinya tidak bersembunyi di balik pasal-pasal kepemilikan.

Ironi makin terasa ketika masyarakat korban bencana diancam larangan, sementara perusahaan-perusahaan besar yang diduga kuat berkontribusi pada kerusakan hutan masih beroperasi dengan relatif aman. Di sini terlihat jelas ketimpangan: rakyat diposisikan sebagai pelanggar, korporasi diperlakukan sebagai mitra.

Padahal, undang-undang kehutanan menegaskan asas tanggung jawab negara. Artinya, negara wajib mencegah perusakan, menegakkan hukum, dan melindungi masyarakat dari dampaknya. Tanggung jawab itu bukan hanya tertulis di lembar regulasi, tapi seharusnya hadir dalam tindakan nyata—terutama saat rakyat berada dalam kondisi darurat.

Dalam konteks bencana, kayu gelondongan seharusnya dipandang sebagai bagian dari puing dan sisa material yang bisa dimanfaatkan untuk pemulihan. Bukan sebagai aset yang harus diamankan dari korban bencana itu sendiri. Fokus utama seharusnya adalah pendataan korban, penyediaan shelter darurat, bantuan logistik, dan pemulihan psikososial—bukan pengamanan kayu.

Bencana ini semestinya menjadi momentum evaluasi besar-besaran: audit izin kehutanan, penegakan hukum terhadap perusak hutan, serta rehabilitasi ekologis yang melibatkan masyarakat lokal. Tanpa itu, banjir dan longsor hanya akan berulang—dan pernyataan-pernyataan tidak sensitif akan terus menjadi luka tambahan.

Negara memang berhak mengatur sumber daya alam. Tapi hak itu datang bersama tanggung jawab. Ketika yang muncul hanya klaim kepemilikan, sementara penderitaan rakyat diabaikan, maka yang bermasalah bukan hanya kebijakan, tapi juga keberpihakan.

Masyarakat Sumatera Utara tidak membutuhkan debat soal kepemilikan kayu. Mereka membutuhkan rumah, rasa aman, dan masa depan yang tidak setiap musim hujan berubah menjadi ancaman.

Undang-undang seharusnya melindungi manusia dan lingkungan, bukan menjauhkan negara dari kemanusiaannya.

*Penulis merupakan mahasiswa Universitas Efarina dan anggota PMKRI Cabang Pematangsiantar.