Oleh: Meri Chrismas Silalahi*
Tentu bukan hal asing lagi ketika kita berbicara mengenai mahasiswa. Apalagi kalau dia adalah mahasiswa itu sendiri. Melihat situasi saat ini beragam ekspresi yang diperankan mahasiswa untuk memenuhi gaya hidup. Perkembangan zaman yang sangat cepat turut memengaruhi perubahan gaya hidup, pun pada mahasiswa. Pada umumnya ketika ditanya apa dan siapa itu mahasiswa banyak yang berpikir bahwa mahasiswa itu adalah manusia pembelajar, kaum intelektual dan menduduki level tertinggi di dunia pendidikan. Namun realitanya pandangan itutelah bergeser sedikit demi sedikit karena pengaruh gaya hidup yang tidak diseimbangkan oleh mahasiswa itu sendiri.
Mahasiswa hanya sekedar ‘status’ mahasiswa. hal itu ditandai dengan menurunnya budaya belajar mahasiswa tersebut. Dimana mahasiswa saat ini cenderung malas membaca, malas diskusi, dan enggan berkarya. Padahal, yang diharapkan sebagai mahasiswa yang katanya manusia pembelajar harusnya kreatif dan inovatif, namun saat ini sudah berada pada posisi yang konsumtif. Saking konsumtifnya, budaya barat juga habis ditelan mentah-mentah, mulai dari cara berpakaian, etika berbicara, hingga penggunaan barang elektronik yang kebabalasan. Akibatnya, terbentuklah karakter mahasiswa yang hedonis dan pragmatis.
Baca juga: Menjadi mahasiswa yang beruntung (berbeda)
Dewasa ini sangat sulit menemukan mahasiswa yang mampu berorientasi pada perkembangan zaman. Hal itu dibuktikan dengan masih banyaknya mahasiswa yang pemalas, mereka lebih memilih gaya belajar yang serba instan dengan membudayakan plagiarisme. Kemajuan teknologi yang kian canggih justru menjadikan sebagian mahasiswa bermental konsumerisme.
Berdiskusi atau membahas kembali materi pembelajaran yang sudah atau yang akan dipelajari serasa tidak penting, karena masih banyak mahasiswa berpikir belajar cukup hanya diruang kelas saja. Cenderung lebih banyak membuang waktu untuk nongkrong dan bergosip setelah perkuliahan selesai dari pada melakukan hal-hal yang lebih produktif.
Baca juga: Mahasiswa dan dunia berdialektika
Kehadiran smartphone yang merupakan salah satu pilihan gaya hidup bagi mahasiswa juga sampai menciptakan satu istilah yang saya sebut sebagai “alone together” (sendiri bersama-bersama sendiri) dalam arti ketika beberapa mahasiswa duduk bersama, mereka seolah-olah seperti sedang sendiri karena terlalu asyik dengan smartphone-nya masing-masing. Begitu juga dengan minimnya minat berorganisasi, baik internal maupun ekternal kampus juga turut menjadikan mahasiswa yang selalu tunduk dan patuh terhadap peraturan yang dibuat oleh pihak kampus dan dosen. Dan banyak juga mahasiswa yang jadi mahasiswa penghamba nilai, mereka akan sangat puas dengan nilai A yang dia dapatkan, walaupun nilai tersebut diraih dengan cara yang tidak tepat yang penting dapat nilai bagus.
Jika gaya hidup tipe ini masih tetap berlangsung pada kehidupan mahasiswa, maka akan menimbulkan dampak negatif atau kerugian yang cukup besar baik bagi mahasiswa, pendidikan, dan juga bagi masyarakat. Seorang Mahasiswa nantinya akan gagap ketika dihadapkan dengandunia kerja, sebab tidak mampu mengaplikasikan ilmu yang dipelajarinya. Tujuan dan sistem daripada pendidikan itu sendiri juga akan cacat, kepercayaan masyarakat akan kualitas seorang mahasiswa akan hilang. Selain itu, mahasiswa nantinya akan menjadi orang yang pragmatis, seperti rela menyogok untuk mendapatkan sebuah pekerjaan.
Perlu kita ketahui bersama dan paham betul akan fungsi dan tanggung jawab seorang mahasiswa yang sesungguhnya, yakni yang utama dan terutama adalah belajar. Selain itu menjadi Mahasiswa yang mampu berinovasi, kreatif serta menjadi sosok yang menginspirasi, dalam arti bijak dalam menempatkan diri sebagai aktor agent of change dan social control dan mengaplikasikan Tri Darma Perguruan Tinggi.
Baca juga: Mahasiswa dalam merespons arus globalisasi
Oleh sebab itu, sudah menjadi keharusan untuk keluar dari zona nyaman ketika menyandang status sebagai seorang Mahasiswa, tinggalkan gaya hidup yang cenderung pragmatis, hedonis dan konsumtif. Karena karakter dan gaya hidup seperti ini akan menghantarkan pemikiran-pemikiran seorang mahasiswa bahwa kampus atau kuliah itu adalah tempat untuk bermewah-mewah dan ajang untuk memamerkan apa yang mereka punya.
Maka mahasiswa yang disebut agent of change, saatnya untuk berbenah, lakukan perubahan mulai dari diri sendiri. Selanjutnya menjadi pionir yang mampu memberi pengaruh positif di lingkungan kampus maupun lingkungan masyarakat. Hal sederhana yang dapat dilakukan yaitu bangkitkan kembali budaya membaca sebagai salah satu pilihan gaya hidup yang baru. Kemudian mulailah memanfaatkan kemajuan teknologi untuk hal yang lebih bermanfaat seperti belajar, bisnis online, dan untuk mendapatkan informasi terbaru. Selanjutnya konsisten menumbuhkembangkan karakter, skill, dan kemampuan intelektual dengan aktif berorganisasi, danpeka menyikapi permasalahan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Semoga!
*Penulis adalah Anggota Biasa PMKRI Cabang Pematangsiantar
dan Mahasiswa Pend. Matematika Univ. HKBP Nommensen Pematangsiantar
KOMENTAR