![]() |
| Oleh: Seni Naibaho* |
Ketertiban lingkungan merupakan salah satu aspek penting dalam menjaga kualitas hidup masyarakat. Lingkungan yang bersih dan tertata bukan hanya mencerminkan wajah suatu daerah, tetapi juga mencerminkan kedisiplinan dan kesadaran hukum masyarakatnya.
Namun realitanya, banyak aturan mengenai kebersihan dan ketertiban lingkungan di Indonesia yang masih tidak diindahkan oleh sebagian masyarakat. Mulai dari membuang sampah sembarangan, merusak fasilitas umum, membakar sampah tanpa izin, hingga pembangunan yang tidak sesuai aturan, semuanya menjadi bukti bahwa masih rendahnya rasa takut atau kepatuhan terhadap hukum lingkungan.
Pertanyaan pentingnya adalah: mengapa masyarakat tidak takut pada aturan yang sebenarnya sudah ada dan jelas?
Salah satu penyebab utama adalah minimnya penegakan hukum. Banyak aturan tentang lingkungan yang telah diatur dalam undang-undang, peraturan daerah, maupun kebijakan pemerintah.
Misalnya, larangan membuang sampah sembarangan sudah tertuang dalam Undang-Undang Pengelolaan Sampah dan bahkan diperkuat dengan sanksi melalui Perda di berbagai daerah. Namun, aturan tersebut sering kali tidak ditegakkan secara konsisten.
Banyak pelanggaran yang dibiarkan, baik karena keterbatasan petugas, lemahnya pengawasan, maupun kurangnya kemauan aparat untuk memberikan sanksi.
Ketika masyarakat melihat bahwa pelanggaran dapat dilakukan tanpa konsekuensi, rasa takut terhadap aturan pun hilang. Akibatnya, aturan hanya menjadi tulisan di atas kertas tanpa efek nyata pada perilaku masyarakat.
Selain lemahnya penegakan, faktor lainnya adalah rendahnya kesadaran hukum masyarakat. Banyak orang yang tidak memahami pentingnya menjaga kebersihan lingkungan bagi kesehatan, kenyamanan, maupun keberlanjutan hidup.
Bagi sebagian masyarakat, membuang sampah sembarangan dianggap hal kecil dan bukan pelanggaran yang serius. Padahal, kebiasaan kecil tersebut dapat menimbulkan dampak besar seperti banjir, pencemaran air, dan masalah kesehatan.
Kesadaran yang rendah ini biasanya disebabkan oleh minimnya edukasi mengenai hukum lingkungan, baik dari pemerintah, sekolah, maupun media. Ketika hukum tidak dipahami dan tidak dianggap penting, maka masyarakat pun tidak memiliki dorongan untuk mematuhinya.
Selanjutnya, budaya masyarakat juga berperan besar. Di banyak daerah, perilaku membuang sampah sembarangan atau tidak menjaga ketertiban lingkungan sudah dianggap hal biasa.
Ketika sebuah perilaku salah menjadi kebiasaan dan dianggap normal, maka sulit bagi aturan untuk mengubahnya. Budaya permisif seperti ini membuat masyarakat tidak malu melanggar aturan, bahkan sering kali tidak merasa bersalah.
Banyak orang baru akan menjaga kebersihan jika ada petugas yang sedang mengawasi atau ketika berada di lingkungan yang tertib, seperti mall atau fasilitas modern. Namun ketika berada di tempat umum seperti pasar, pinggir jalan, terminal, atau lingkungan permukiman, perilaku sadar lingkungan seketika hilang. Hal ini membuktikan bahwa masalahnya bukan sekadar hukum, tetapi juga pola pikir dan kebiasaan.
![]() |
| Ilustrasi pelanggaran lalu lintas. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan |
Di sisi lain, kurangnya fasilitas pendukung juga menjadi alasan mengapa masyarakat abai terhadap aturan lingkungan. Misalnya, tempat sampah yang jumlahnya sedikit atau tidak terawat, kurangnya petugas kebersihan, serta sistem pengolahan sampah yang masih buruk.
Ketika fasilitas tidak memadai, masyarakat akhirnya memilih cara yang gampang meskipun melanggar aturan. Hukum yang baik seharusnya didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Tanpa itu, aturan menjadi sulit diterapkan sekalipun masyarakat ingin mematuhi.
Faktor ekonomi juga ikut mempengaruhi kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Di beberapa daerah, masyarakat masih berfokus pada kebutuhan sehari-hari dan mencari nafkah, sehingga perhatian terhadap kebersihan lingkungan dianggap kurang prioritas.
Misalnya, pedagang pasar yang meninggalkan sampah tanpa dipikirkan, warga yang membakar sampah untuk menghemat biaya pembuangan, atau pemilik usaha yang membuang limbah sembarangan demi mengurangi biaya operasional. Ketika situasi ekonomi mendesak, kepatuhan terhadap aturan lingkungan sering kali dikorbankan.
Selain itu, ketidaktegasan pemerintah daerah dalam memberikan contoh juga menjadi masalah. Ketika pejabat atau instansi pemerintah sendiri tidak konsisten menerapkan aturan, seperti membiarkan pembangunan liar atau tidak merawat fasilitas publik, masyarakat pun kehilangan kepercayaan terhadap hukum.
Kepatuhan masyarakat tidak hanya dibangun melalui sanksi, tetapi juga melalui keteladanan. Jika pemimpin dan aparat memberikan contoh positif, masyarakat akan lebih mudah tergerak untuk mengikuti.
Lalu, bagaimana solusinya? Menumbuhkan rasa takut sekaligus kesadaran untuk mematuhi aturan lingkungan diperlukan pendekatan yang menyeluruh.
Pertama, penegakan hukum harus dilakukan secara konsisten, bukan hanya saat ada razia atau momen tertentu. Sanksi yang jelas dan tegas dapat memberikan efek jera bagi pelanggar. Tidak perlu selalu dengan hukuman berat; denda ringan namun diterapkan secara rutin sudah cukup membuat masyarakat lebih berhati-hati.
Kedua, edukasi hukum kepada masyarakat harus diperkuat. Pemerintah, sekolah, dan media perlu bekerja sama memberikan pemahaman yang benar mengenai pentingnya ketertiban lingkungan. Edukasi tidak hanya berupa teori, tetapi juga praktik seperti program kebersihan bersama, kampanye publik, hingga membuat lingkungan sekolah atau kantor sebagai contoh ketertiban.
Ketiga, pemerintah perlu memperbaiki fasilitas pendukung, seperti menyediakan tempat sampah yang cukup, memperbaiki saluran air, dan memperkuat sistem pengelolaan sampah. Lingkungan yang bersih dan tertata secara otomatis mengurangi kecenderungan masyarakat membuang sampah sembarangan.
Keempat, perlu adanya perubahan budaya. Hal ini bisa dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan komunitas setempat. Ketika kebiasaan peduli lingkungan diajarkan sejak kecil, maka generasi berikutnya akan tumbuh dengan kesadaran hukum yang lebih baik. Selain itu, keterlibatan tokoh masyarakat, organisasi pemuda, dan komunitas lokal sangat penting dalam menciptakan budaya lingkungan yang lebih tertib.
Terakhir, pemerintah harus menjadi teladan. Penataan ruang yang konsisten, pengawasan ketat terhadap pembangunan liar, serta pengelolaan kota yang baik akan menunjukkan bahwa aturan dibuat bukan sekadar formalitas. Ketika masyarakat melihat keseriusan pemerintah, kepercayaan terhadap hukum akan meningkat, dan ketaatan pun akan mengikuti.
Pada akhirnya, ketertiban lingkungan bukan hanya soal aturan tertulis, tetapi soal kesadaran, budaya, fasilitas, dan keteladanan. Selama masyarakat tidak melihat konsekuensi nyata dari pelanggaran, dan selama budaya permisif masih kuat, maka rasa takut pada aturan tidak akan terbentuk.
Karena itu, upaya memperbaiki ketertiban lingkungan harus dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah, masyarakat, dan seluruh pihak terkait. Dengan langkah yang konsisten dan berkelanjutan, lingkungan yang tertib dan bersih bukan lagi sekadar harapan, tetapi dapat menjadi kenyataan bagi semua.(*)
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Santo Thomas


KOMENTAR