Foto dari instagram @portalteater |
Oleh: Tomson Sabungan Silalahi*
Mengikuti workshop Teater Arsip selama seminggu di Dewan Kesenian
Jakarta yang bekerja sama dengan Embassy
of Hungary, dan Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) membuat mata saya mampu melihat dunia yang berbeda. Awalnya saya
diajak oleh Alfred Nabal, katanya: “masih ada seat, ikut saja, abang!”. Untuk
mengikuti workshop apalagi yang mengadakan adalah DKJ membuatku sedikit sangsi,
sangsi apakah aku bisa mengikutinya dengan baik, apakah waktuku akan selalu
tersedia selama workshop dilaksanakan? Tapi akhirnya saya memutuskan untuk ikut
juga, kapan lagi ikut workshop gratis dari DKJ, pikirku saat itu.
Hari pertamaku di workshop adalah hari kedua peserta yang lain termasuk
Alfred. Sebelumnya fasilitator memberikan tugas untuk memerhatikan dan mencatat
apa saja sensory yang tertangkap kita akan sekeliling sejak dari rumah sampai
ke tempat workshop, atau bisa juga divideokan, intinya mengamatilah.
Foto dari instagram @portalteater |
Sesampainya di Gedung DKJ, kami langsung masuk lewat pintu belakang. Sebelum materi, para peserta diajak makan siang sementara ruangan masih dipakai untuk rapat oleh pengurus DKJ. Makanannya lumayan enak, kelihatannya, namun setelah masuk di mulut, perih langung terasa karena saat itu saya sedang punya ‘panas dalam’, ada luka di lidah, apapun yang masuk ke mulut dan menyentuh ke luka yang ada, langsung membunuh rasa lapar yang ada. Karena saya sadari bahwa saya butuh makan untuk bisa bertahan selama pemaparan materi maka saya paksakan makan sebisanya, tanpa menghabiskan semuanya, padahal, saya kurang suka jika ada sisa makanan di piring saya. Saat itu aku merasa, sakitnya tuh di sini!
Foto dari instagram @portalteater |
Tibalah saatnya pada workshop perdananku di DKJ, sebelum mulai materi,
ada seorang yang bertanya, apakah kita bisa merokok di ruangan atau tidak? Dan
disetujui, untuk merokok di luar ruangan saja, syukurlah, aku tidak bisa
membayangkan jika asap rokok akan mengepul di dalam ruangan itu.
Peter, Yola, Dhea, Dani dan beberapa fasilitator lainnya ada bersama kami di
sana. Peter kemudian membimbing kami di awal. Meminta setiap peserta untuk
menceritakan pengalamannya selama di perjalanan dari rumah/kos sampai ke DKJ,
satu per satu, tidak ada yang ketinggalan.
Foto dari instagram @portalteater |
Ada peserta yang sangat detail penjelasannya, ada yang sangat singkat, ada pulang yang cueknya minta ampun, pun ada yang sangat antusias bercerita sambil senyum-senyum, mengajak yang lain untuk ikut tersenyum dengan cerita yang sedang diceritakannya.
Semua pengalaman yang berkaitan dengan sensory dicatat oleh para
fasilitator, saya melihat setidaknya ada tiga orang yang mencatat, Vivien, Peter dan
Yola. Karena melihat mereka mencatat, aku pun akhirnya ikut mencatat, hal-hal
yang perlu (menurutku) untuk dicatat.
Setelahnya, oleh Mbah Bambang Besur Suryono dan Mas Misbach Daeng Bilok
kami diajak untuk bergerak lambat, mengolah nafas agar lebih teratur, menarikan
badan selambat mungkin, mendengarkan suara-suara dari beberapa alat musik
sederhana ala Mas Misbach, terutama mendengar suara sendiri dan orang lain.
Dari Teater Kecil tempat kami mempraktekkannya, kami berjalan lambat menuju
Gedung DKJ lagi untuk menutup acara hari itu.
Foto dari instagram @portalteater |
Dari semua hari yang saya lalui, pengalaman melambat ini sangat
mengesankan saya. Banyak hal yang saya pelajari, salah satunya adalah, bahwa
terlambat bukanlah kegagalan. Di tengah percepatan dunia yang kita hadapi sekarang, manusia tidak lagi
mendengarkan dengan baik, melihat dengan detail, merasakan apa yang orang lain
rasakan. Bahkan di sela-sela perbincangan kami, saya ingat ada yang mengatakan,
kita tidak lagi merasakan dinginnya air, tidak merasakan air mengalir di atas
kulit kita saat mandi karena harus buru-buru ke tempat kerja. Tidak lagi merasa
aneh ketika banyaknya baliho dan iklan bertebaran di mana-mana, bukan hanya di dunia nyata tapi juga di dunia
virtual kita, sosial media.
Mengapa judul “melambatkan diri” ini saya pakai dalam tulisan ini,
karena penting bagi kita saat ini di tengah dunia yang serba kompetitif ini,
kita dipaksa untuk berkompetisi daripada berkolaborasi, kita tidak lagi mau
mengalah dengan orang lain, mendahulukan yang perlu didahulukan, melambatkan
diri, memerikan kesempatan kepada yang lebih membutuhkan, mengerjakan apa yang
harus dikerjakan tanpa merasa bersalah ketika ada pekerjaan lain belum selesai
dikerjakan. Kita juga dalam hal ini perlu menyadari bahwa kita adalah manusia
yang terbatas. Seperti saya, di hari kedua tidak dapat hadir, padahal saya
sebegitu antusiasnya mau ikut lagi, tapi saya harus diberhentikan di rumah
saja, karena saya sakit, malam itu, bibir atas saya bengkak, saya kira akan
kempes di pagi harinya, seperti biasanya jika alergi (dingin) saya kambuh.
Ternyata sampai siang menjelang jam workshop akan dimulai, bibir saya belum
kempes juga. Sempat menjadi migrain karena terlalu memikirkan bibir yang
bengkak, akhirnya saya putuskan untu absen dari workshop hari itu.
Hari berikutnya saya bersama 2 yang lainnya, Selvi dan Phita yang tidak
masuk hari sebelumnya menjadi satu kelompok tugas. Kami namakan kelompok kami
“Kehilangan Hari Rabu”. Kelompok kami memutuskan untuk memberikan gambaran
polusi visual yang ada di sekeliling kita, seperti iklan dan spanduk para caleg.
Yang bertebaran di mana-mana termasuk di pohon-pohon yang tidak bisa ditempeli
spanduk apapun.
Hari Sabtu, tibalah saatnya kami harus menampilkan karya kami
masing-masing. Selain membuat visualisasi mengenai polusi visual di dua tiang
di depan Teater Kecil TIM, kami juga berperan menjadi SPG, Selvi jadi SPK
Properti, Phita jadi SPG produk kecantikan, sedangkan saya menjadi peramal
kartu Drupadi (semacam tarot). Sebelumnya banyak konsep yang sudah kami rancang
tapi di proses perjalannya kami rombak terus hingga sampai pada SPG dan
Peramal, sebenarnya kami mau menertawakan diri kami sendiri yang sering
terjebak oleh keinginan-keinginan kami sesaat, keinginan untuk tahu masa depan,
see, betapa manusia ingin jauh melangkan ke depan, mengetahui masa depannya, mengetahui
masa depannya. Sementara saya simpulkan orang-orang ini adalah sedang
galau-galaunya. Sampai ada yang mau bayar atas jasa ramal saya. Ingin melangkah
lebih cepat dipacu oleh kegalauan akan masa depan mereka. Manusia hari-hari
ini, tidak lagi menikmati dirinya sendiri, keadaannya saat ini, menikmati
present time, padahal present itu adalah hadiah, hadiah yang diberikan oleh
Yang Kuasa, namun sayangnya hadiah itu tidak bisa kita nikmati, kita asyik
dengan memikirkan masa depan yang serba tidak pasti.
Perlunya melambatkan diri itu akhirnya saya sadari dalam hal itu, untuk
menikmati hadiah hari ini. Bahwa saya masih bisa bernafas, melihat, mendengar,
makan dan bicara, diam, tutup mata sejenak, menajamkan pendengaran, merasakan
angin Jakarta yang hangat, merasakan jari-jari tangan saya menari di atas
tuts-tuts keyboard computer ini.
*Peserta workshop Teater Arsip Di Balik Setiap Pintu - Wayang Beber dan Sensory Ethnography 11-17 Maret 2019 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki.
KOMENTAR