Oleh: Maryanus Lamada*
Wabah virus Corona atau COVID-19 di Indonesia saat
ini telah telah berlangsung kurang lebih 4 bulan sejak kasus pertama pada awal bulan
Maret lalu diumumkan. Ribuan masyarakat Indonesia telah menjadi korban dari
Virus yang kasat mata ini. Menurut data terakhir dari kementrian kesehatan
Indonesia per 21 Juni 2020 jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19
berjumlah 45.029 kasus dengan 17.883 sembuh, 2.429 meninggal dan 24.717.
Virus corona (Covid-19) ini telah membawa
dampak dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat di Negeri ini termasuk sektor
pendidikan. Dalam sektor pendidikan di Indonesia, Covid-19 ini telah membawa
dampak permasalahan yang luar biasa, mulai dari perubahan proses belajar
mengajar yang awalnya konvensional setelah adanya Covid-19 ini mesti digeser ke
dalam proses belajar mengajar via daring atau online dengan menggunakan
kanal-kanal media yang tersedia. Proses pembelajaran banyak terhambat oleh
karena kendala-kendala teknis dalam pembelajaran via daring ini, termasuk
kendala ekonomi.
Dalam Tulisan ini penulis ingin menyampaikan
perspektif khusus soal dampak Covid-19 terhadap mahasiswa khususnya dampak
ekonomi, dan menyampaikan tawaran solusi untuk persoalan.
Kuliah
daring, biaya mahal dan efektifitas proses perkuliahan
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa
perguruan tinggi sejak April lalu telah menerapkan perkuliahan via daring hal
itu tentu merupakan solusi atas kondisi yang terjadi yang bisa diberikan oleh
pemerintah. Namun proses pembelajaran dengan metode daring ini juga memiliki
banyak kekurangan dan membawa dampak dalam berbagai dimensi kemahasiswaan itu
sendiri khususnya soal ekonomi mahasiswa.
Hal ini bukan tanpa sebab, bahwa selama kurang
lebih 3 bulan telah berlangsung perkuliahan secara daring dan telah menguras
ekonomi mahasiswa. Contoh paling sederhananya yaitu soal ketersediaan paket
data internet untuk proses kuliah online, untuk satu mata kuliah saja
butuh kurang lebih 1 GB/1 mata kuliah. Dalam satu hari kurang lebih 3-4 mata
kuliah, maka satu hari mahasiswa bisa menghabiskan kurang lebih 3 GB jika
menggunakan aplikasi daring via zoom atau media yang menggunakan virtual audio
video (atau video conference). Dengan harga kuota yang mahal (contohnya Telkomsel
1 GB Rp 25.000).
Di sisi lain dengan adanya Covid-19 ini
membawa dampak terhadap melemahnya ekonomi di tengah masyarakat khususnya
masyarakat kalangan menengah ke bawah. Jika kita melihat dari perspektif itu berarti
mahasiswa yang masih ditanggung atau dibiayai oleh orang tua dengan kebutuhan
uang untuk perkuliahan daring tadi akan menambah berat beban tanggungan ekonomi
orang tua mahasiswa itu sendiri.
Hal yang tak kalah penting lainnya dari
persolan ini bahwa perkuliahan daring di tengah pandemi ini dinilai kurang
efektif disebabkan oleh beberapa kendala misalkan soal sarana-prasarana
misalkan soal gangguan pada jaringan internet, dan proses penyampaian materi
yang kurang jelas.
Hal ini bisa ditunjukan dalam Hasil survei
LKPT PP IPNU mengenai efektivitas metode daring (belajar dari rumah), mayoritas
mahasiswa menjawab tidak efektif, yakni sebesar 69,45%, sedang yang menjawab
efektif 24.58%, 2,63% kurang efektif, 1,91% tidak tahu, dan 1,43% menjawab
lainnya. Survei ini melibatkan 419 mahasiwa dari 34 provinsi di Indonesia.
Periode pengambilan data dilaksanakan pada 23 April sampai 1 Mei 2020 dengan
menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Tercatat, 52,51% responden merupakan
mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan 47,49% lainnya mahasiswa Perguruan
Tinggi Swasta (PTS). Pengisian kuesioner menggunakan Google Form dengan
margin of error 5%.
Baca juga: Kebebasan Berpendapat di Kampus, Dikebiri?
Sementara para mahasiswa ini kita ketahui di
awal tahun ajaran semester genap telah menunaikan kewajibannya, yaitu
pembayaran Uang Kuliah Tunggal di masing-masing perguruan tinggi negeri
tempatnya berkuliah. Perlu kita ketahui pula bahwa biaya kuliah di
masing-masing perguruan tinggi terbilang sangat mahal yaitu biaya paling
standar Rp 1.000.000 bahkan ada yang lebih dari situ. Dulu dari uang kuliah itu
boleh digunakan untuk menjamin tersedianya sarana dan prasarana demi kelancaran
proses perkuliahan. Tetapi pada masa pandemi ini dengan gesernya aktifitas
perkuliahan menjadi daring, maka otomatis sarana dan prasarana di lingkungan
kampus tidak digunakan oleh mahasiswa.
Dalam hal ini semestinya perguruan tinggi bisa
memfasilitasi mahasiswa untuk kelancaran proses perkuliahan. Namun fakta yang
kita temukan di lapanan berbanding terbalik dengan apa yang semestinya
dilakukan.
Maka menjadi catatan kritis juga kepada para
pimpinan perguruan tinggi untuk kiranya memberikan transparansi penggunaan
anggaran semester genap sebelum memasuki semester ganjil nanti. Agar kemudian mahasiswa
bisa mengetahui ke mana dan untuk apa UKT yang telah dibayar di awal semester
genap lalu.
Penurunan UKT sebagai bentuk kepedulian
pemerintah kepada mahasiswa yang terdampak Dan konsistensi dalam penerapannya di tataran
perguruan tinggi.
Hal di atas telah ditunjukan terkait dengan
problematika kompleks dari kuliah daring, dengan biaya yang cukup menguras
keuangan mahasiswa serta kurang efektifnya kuliah daring itu sendiri. Kiranya
bisa menjadi dasar mengapa pemerintah mesti memberikan keringanan UKT kepada
mahasiswa, tanpa mengurangi upaya untuk tetap memberikan kualitas aktivitas
perkuliahan yang berbobot.
Seperti kita ketahui bahwa tahun ajaran
semester genap berakhir bulan Juni ini dan akan segera dimulai tahun ajaran
baru atau semester baru dalam kalender akademik. Itu artinya sebelum masuk pada
semester baru ini mahasiswa mesti membayar Uang Kuliah Tunggal. Di sisi lain
Covid-19 ini belum ada kejalasan kapan akan berakhir, dan telah berdampak pada
kondisi perokonomian masyarakat tak terkecuali juga mahasiswa dan orang tua
mahasiswa.
Maka oleh karena itu kiranya menjadi tanggung
jawab pemerintah untuk kemudian memperhatikan nasib dalam hal ini nasib
mahasiswa yang terdampak Covid-19. Seperti kita ketahui juga bahwa pemerintah
dalam hal ini melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah mengelauarkan
kebijakan terkait dengan dukungan kepada mahasiswa yang terdampak Covid-19 ini
yang tertera dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud)
nomor 25 tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi
pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Baca juga: Pendidikan Kita di Tengah Covid-19
Dalam peraturan itu ditentukan beberapa poin
dukungan di antaranya Penyesuaian UKT mahasiswa sesuai Finasial mahasiswa itu
sendiri. Mahasiswa tidak wajib membayar UKT jika sedang cuti kuliah atau tidak
mengambil SKS, pemimpin perguruan tinggi dapat memberikan keringanan UKT
dan/atau memberlakukan UKT Baru terhadap mahasiswa. Mahasiswa di masa akhir
kuliah membayar paling tinggi 50% UKT Jika mengambil kurang dari 6 SKS.
Maka atas dasar peraturan itu penulis meminta
dan berharap agar kiranya aturan terkait peringanan UKT bagi mahasiswa yang
terdampak Covid-19 ini betul-betul menjadi perhatian para pimpinan perguruan
tinggi di seluruh Indonesia. Serta ditindak lanjuti sesegera mungkin, ini
sebagai bentuk tanggung jawab dan kepedulian pimpinan perguruan tinggi kepada
mahasiswanya yang terdampak.
Pimpinan perguruan tinggi segera menyusun
skema terkait pendataan bagi mahasiswa yang terdampak Covid-19 dan mengeluarkan
kebijakan untuk tindak lanjut konkritnya di masing-masing perguruan tinggi
negeri yang dipimpinnya. Serta juga membuka kanal-kanal pemberian informasi dan
pengaduan bagi mahasiswa yang terdampak, dan tak terjangkau oleh pihak kampus.
*Penulis adalah Presidium Hubungan Perguruan Tinggi PMKRI Cabang Kendari
KOMENTAR