Kemerdekaan Milik Generasi Muda

 

Oleh: Dewi Lingga*

Katakanlah.com | Indonesia merdeka sudah hampir delapan puluh tahun lamanya, namun pertanyaan mendasar tetap menggema: apakah kemerdekaan yang diperjuangkan para pahlawan bangsa benar-benar telah sampai ke tangan generasi muda? 

Kemerdekaan bukan sekadar peristiwa sejarah yang diabadikan dalam buku-buku pelajaran, melainkan sebuah estafet yang harus terus diperjuangkan oleh setiap generasi. Kini, tongkat perjuangan itu berada di tangan kita generasi muda yang hidup di era digital dengan segala kompleksitas dan tantangannya.

Ketika berbicara tentang kemerdekaan generasi muda, kita tidak lagi berhadapan dengan penjajah berseragam militer atau sistem kolonial yang eksplisit. Tantangan kemerdekaan hari ini jauh lebih subtle namun tidak kalah berbahaya. 

Generasi muda Indonesia saat ini berhadapan dengan kolonialisme gaya baru teknologi asing, gaya hidup konsumtif yang dipaksakan media sosial, dan yang paling mengkhawatirkan adalah kolonialisme mental yang membuat kita meragukan kemampuan diri sendiri.

Sebagai mahasiswa yang hidup di tengah-tengah dinamika sosial ini, saya melihat bagaimana teman-teman sebaya lebih familiar dengan brand fashion internasional daripada produk lokal, lebih hafal lagu K-pop daripada lagu daerah, dan lebih percaya pada influencer asing daripada pemikir Indonesia. Ini bukan tentang nasionalisme buta, tetapi tentang hilangnya kepercayaan diri kolektif sebagai bangsa yang pernah besar.

Kemerdekaan generasi muda harus dimulai dari pembebasan mental. Kita perlu membangun narrative baru bahwa menjadi Indonesia itu keren, bahwa berkarya untuk Indonesia itu prestise, dan bahwa membangun Indonesia itu adalah pilihan karier yang menjanjikan. Selama ini, brain drain terjadi bukan karena Indonesia tidak punya peluang, tetapi karena kita tidak pernah diajarkan untuk melihat potensi luar biasa yang dimiliki negeri ini.

Solusi pertama yang dapat kita lakukan adalah revolusi mindset. Generasi muda harus mulai melihat diri kita sebagai solution maker, bukan problem complainer. Setiap kritik yang kita lontarkan terhadap kondisi bangsa harus dibarengi dengan action plan yang konkret. 

Jangan lagi hanya mengeluh tentang korupsi tanpa mulai dari diri sendiri dengan tidak nyontek saat ujian. Jangan hanya mengkritik polusi tanpa mulai mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.

Kedua, kita harus memanfaatkan teknologi sebagai tools pemberdayaan, bukan sebagai alat pelarian dari realitas. Media sosial yang selama ini digunakan untuk menampilkan gaya hidup hedonis bisa dialihkan untuk kampanye positif, edukasi publik, atau promosi produk lokal. E-commerce bisa menjadi platform untuk mendorong UMKM Indonesia go digital. Startup teknologi bisa fokus menyelesaikan permasalahan riil masyarakat, bukan sekadar copy-paste model bisnis asing.

Ketiga, generasi muda harus berani mengambil ruang dalam politik praktis. Politik bukan wilayah kotor yang harus dihindari, tetapi arena dimana masa depan bangsa ditentukan. Ketika generasi muda memilih apatis terhadap politik, maka jangan salahkan sistem jika tidak mengakomodasi aspirasi kita. Keterlibatan politik tidak harus melalui partai politik, tetapi bisa melalui organisasi masyarakat sipil, gerakan sosial, atau bahkan entrepreneurship yang berdampak sosial.

Keempat, kita perlu membangun solidaritas generasi yang melampaui sekat-sekat primordial. Kemerdekaan generasi muda adalah kemerdekaan kolektif, bukan individual. Persaingan antar sesama anak muda harus diubah menjadi kolaborasi untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Kemerdekaan milik generasi muda bukan tentang mewarisi kemerdekaan yang telah ada, tetapi tentang menciptakan kemerdekaan baru yang sesuai dengan tantangan zaman. 

Kita tidak hanya merayakan kemerdekaan, tetapi memperjuangkannya setiap hari melalui pilihan-pilihan kecil yang bermakna besar. Indonesia merdeka bukan sekadar tanggal di kalender, tetapi sebuah cita-cita yang harus terus diupayakan. Dan perjuangan itu, kini ada di tangan kita.(*)

*Penulis merupakan pengurus PMKRI Cabang Pematangsiantar dan mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar.