Oleh: Selvi Agnesia*
Sudah
menjelang dua bulan AS tinggal di Shelter SPA distrik Zhongli, Taiwan. Waktu
tinggalnya hampir habis, tapi belum juga dia menemukan pekerjaan baru. Dua
tahun sebelumnya, dia bekerja sebagai Anak Buah Kapal.
“Dokumen
masih bermasalah di agent, kalau pulang uang gak ada, job belum dapat” keluhnya.
Pada
waktu yang sama, Shelter SPA Zhongli kedatangan anak baru berinisial LN. Ia merupakan
Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Jawa Barat yang kabur dari majikannya
karena kekerasan. Terlihat jelas, bekas
luka cakaran di tangan perempuan muda tersebut. Sesampainya di Shelter,
teman-teman senasibnya menyambut LN dengan hangat. “Dicakar kucing garong yah
mbak, tenang di sini aman” tutur DS, salah satu penghuni Shelter menghibur.
Begitulah
sekelumit cerita dari suasana Shelter SPA. Selalu ada yang datang dan pergi
dengan alasan yang hampir serupa. Bermasalah dengan majikan dan agent karena
ketidaksesuaian perjanjian kerja atau kasus penganiayaan dan tindak kekerasan.
Shelter
SPA berfungsi menjadi ruang penampungan sementara gratis selama dua bulan,
konseling hukum, sekaligus membantu untuk mencarikan job baru bagi PMI melalui
bursa kerja.
Suasana
Shelter tersebut menginspirasi Deden J.Bulqini yang akrab disapa Bul, seniman visual
tata panggung lulusan Seni Rupa STSI Bandung yang melakukan residensi Trans/Voice
Project Indonesia-Taiwan selama empat minggu. Ia melakukan riset dengan dua
kali kunjungan ke shelter, ia mencoba menginap beberapa malam untuk mengenali
ruang dan aktivitas penghuni tersebut.
Hasil
risetnya ia presentasikan dalam sebuah pameran berupa karya video art dan
instalasi berjuluk “Ruang: Antara dan Sementara” di Open Contemporary Art Center
(OCAC), di distrik Datong, Taipei pada
15-16 Juni 2019 lalu.
Bul
tertarik melihat shelter dalam relasinya antara ruang dan tubuh para pekerja
migran. Sebagai ruang sementara, Bul melihat shelter sebagai rumah penampungan/
sementara yang berfungsi sebagai persinggahan para PMI yang bermasalah.
Selanjutnya
sebagai ruang antara dikaitkannya dengan tubuh pekerja migran yang berpindah
dari tubuhnya sebelum di shelter, lalu mencoba beradaptasi di shelter selama
dua bulan di ruang yang sempit dan terbatas.
“Di shelter ini aktivitasnya cuma ruang depan, dapur dan kamar” ungkap
Bul.
Rasa
penasaran Bul akan hubungan ruang dan tubuh tersebut ia uji coba dalam workshop
seni rupa. Bul mengarahkan para PMI dengan permainan pose dan outline. Keempat
pekerja migran diminta untuk berpose dan empat teman lain melukiskan/ mencetak
outline tubuh temannya di atas kertas koran dengan warna yang sesuai aura/
sifat temannya. Permainan ini bertujuan sebagai bagian dari pengenalan kepada
teman baru. Sedangkan pemilihan koran bekas menurutnya menjadi bagian media
informasi faktual yang mendasari kehidupan mereka, melalui berbagai persinggungan
dan konfilk pada para pekerja migran di Taiwan.
Workshop
tersebut menariknya menjadi pengalaman pertama para PMI untuk berkarya lewat
seni rua. Hasilnya berupa gambaran yang figuratif, Bul turut melihat karya
mereka juga menjadi penanda karakter masing-masing penghuni shelter.
“Terlihat
ada yang pendiam, ramai dan heboh”. Lebih lanjut ia menjelaskan, “saya tidak
ingin melihat dari sisi saya, tapi lebih penting melihat dari sisi pelaku”
Di
antara PMI tersebut Bul juga tertarik dengan sosok salah satu penghuni shelter
bernama Tony Sarwono, PMI asal Yogyakarta yang pernah bekerja di pabrik.
Berawal dari obrolan sederhana, Tony menunjukan lukisan-lukisannya yang bergaya
abstrak sebelum ia bekerja ke Taiwan. Bul
langsung mengajak Tony untuk berkolaborasi dalam pameran presentasi hasil
residensi.
“Dengan
pameran ini saya merasa jiwa seni saya kembali dan bisa diekspresikan”
jelasnya.
Pada
pembukaan pameran tersebut dihadiri berbagai seniman, kurator dan dipenuhi oleh
para PMI yang turut mengapresiasi. Ruang pamer di OCAC memamerkan karya
instalasi berupa lukisan-lukisan yang
memenuhi setiap tembok dan sudut hasil dari workshop bersama PMI.
Salah
satu karya utama yang banyak menarik perhatian pengunjung berupa empat lukisan
tubuh figuratif. Pada tubuh-tubuh lukisan tersebut ditembakan video aktivitas
mereka selama di shelter dari mulai mengobrol, video call bersama keluarga,
makan, memancing, hingga kursus bahasa mandarin.
Tony
turut melukiskan karya pribadi yang menunjukan segala aktivitas di shelter
namun dibalik segala aktivitas tersebut terdapat kecemasan dan harapan tentang
kerberlangsungan masa depan mereka.
“Kita
disediakan makan, tempat tidur dan menghibur diri, yah keliatannya enak tapi
sebenarnya pikiran kita ruwet, seperti harapan yang belum jelas” ungkapnya.
Pameran
ini akhirnya mencoba memberikan makna pada shelter tidak hanya sebagai ruang
penampungan antara dan sementara, namun makna kajian sosial dan kultural
beserta interaksi manusia di dalamnya dan memunculkan pertanyaan baru tentang
ruang baru selanjutnya sesudah mereka keluar dari shelter.
Serupa
yang diungkapkan Tony, “Di sini para penghuninya terjebak antara ketakutan dan
harapan. Kita bisa memilih untuk takut dan kabur atau terus berharap ke depan”
jelasnya.
*Penulis
Seni Budaya
Foto:
Selvi Agnesia
KOMENTAR